Opini

Sasak, Bangsa Tanpa Pemimpin Kultural

Sebelumnya saya ingin perjelas dulu apa yang dimaksudkan pemimpin kultural dalam konteks bangsa Sasak

Editor: Laelatunniam
Dok.Istimewa
OPINI - Salman Faris, Dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan Penulis Novel Guru Dane. (Dok.Istimewa) 

Oleh: Salman Faris, Dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan Penulis Novel Guru Dane

TRIBUNLOMBOK.COM - Sebelumnya saya ingin perjelas dulu apa yang dimaksudkan pemimpin kultural dalam konteks bangsa Sasak dan secara penteorian yang lebih luas.

Pemimpin kultural ialah tokoh yang lahir dari akar rumput, beristana di akar rumput, mewakili satu entitas bangsa bernama Sasak karena itu mempunyai keberterimaan yang mengakar, kuat dan luas di kalangan orang Sasak. Pemimpin yang bersih atau terlepas dari kepentingan politik kuasa atau bisa disebut sebagai pemimpin struktural (topik ini akan saya bahas dalam tulisan berikutnya). 

Salah satu masalah utama orang Sasak adalah sangat rentan dengan konflik internal. Mudah terpecah belah lalu tersulut konflik membara antar mereka. Terkait masalah ini, saya berteori bahwa yang bisa mengambil peran penting dalam melerai konflik dan menghindari risiko keterpecahan itu ialah pemimpin kultural. Mari kita melihat penjelasan dasarnya.

Dalam catatan sejarah, bangsa Sasak pernah melalui fasa cukup penting, di mana mereka berada dalam satu arus besar sebagai bangsa. Memiliki kesadaran persamaan nasib, kepentingan, keperluan, dan kehendak atas kebebasan dari belenggu kolonial berpanjangan.

Fasa pertama pada era Jero Mihram, merupakan seorang intelektual muslim awal Sasak yang mencetuskan kesadaran kebangsaan Sasak melalui karya besar bernama Lontar Tutur Monyeh. 

Meskipun pada masa tersebut konsep Sasak belum tumbuh, namun sekurang-kurangnya kesadaran sebagai orang Lombok yang dijajah sudah muncul dalam arus besar.

Melalui Lontar Tutur Monyeh, Jero Mihram bersafari, berkeliling Lombok untuk membangkitkan api kebebasan yang berisiko kepada keselamatan sendiri, yakni berhadapan dengan Karangasem Bali. Jero Mihram sempat dipenajara, namun dilepaskan karena ada desakan kultural yang cukup kuat. 

Pada masa itu, pengikut Jero Mihram tidak hanya orang Sasak, namun juga orang Bali dari kalangan kasta bawah yang juga mengalami nasib hampir sama dengan orang Sasak kebanyakan. Dalam perkembangannya nanti, situasi ini dapat membantah teori toleransi di Lombok yang digerakkan oleh penjajah.

Dengan kata lain, dalam konteks toleransi sebagai bagian karakter urama orang Sasak, diasaskan oleh orang Sasak sendiri, seperti yang dibuktikan oleh Jero Mihran. Karena salah satu alasan kenapa Jero Mihram dipenjara adalah kekhawatiran kolonial terhadap meluasnya pengaruh Jero Mihram sendiri di kalangan Bali kasta rendah. Lalu apa dasar logika yang menguatkan penjajah sebagai penggerak toleransi di Lombok?

Fasa kedua ialah pada era Guru Dane. Berbeda dengan jero Mihram, Guru Dane bukan intelektual. Tidak pandai membaca dan menulis. Namun karena kekuataan mistik yang dimiliki, Guru Dane mencapai kejayaan yang lebih maju, bahkan dibandingkan Jero Mihram. Maksudnya, kesadaran kebebasan orang Sasak mencakupi kawasan yang lebih luas dan memiliki dampak yang sangat besar. 

Sama dengan Jero Mihram, Guru Dane juga diikuti oleh orang Bali dari kalangan bawah yang merasakan nasib serupa dengan orang Sasak. Bahkan tidak sedikit kalangan elit Sasak yang juga tunduk pada kekuatan mistik Guru Dane.

Meskipun dalam hal ini, terdapat relasi yang kompleks antara Guru Dane dengan orang Bali, namun hal itu tidak menipiskan dampak luas Guru Dane di tengah orang Sasak. Berbeda dengan Jero Mihram, Guru Dane ditangkap karena ada koalisi jahat antara tiga elit sekaligus, yakni elit Sasak, elit Bali dan Belanda. 

Berdasarkan hal tersebut, sedikitnya ada dua hal yang dapat dilihat. Pertama, orang Sasak mempunyai potensi untuk dapat disatukan oleh intelektual dan dan mistikus atau boleh kita sebut sebagai spiritualis lokal.

Kedua, usaha kesatuan Sasak itu selalu berhadapan dengan kepentingan yang berbeda dengan elit politik atau kita sebut sebagai elit struktural yang memiliki kepentingan kekuasaan, baik dari kalangan elit Sasak maupun elit luar yang mempunyai kepentingan menguasai ekonomi di Lombok. 

Halaman
123
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved