Opini
Ketika Gaza Plan Memaksa Hamas Menjadi Lebih Realistis
Dalam situasi inilah, menurut saya, Hamas mulai menimbang kembali makna perjuangan bersenjatanya apakah masih realistis untuk dilanjutkan.
Oleh: Jannus TH Siahaan
Keputusan Hamas untuk menerima sebagian isi dari Gaza Plan yang diusulkan Presiden Donald Trump mengejutkan banyak pihak.
Setelah bertahun-tahun Hamas menolak setiap inisiatif yang datang dari Amerika Serikat, langkah ini menandai perubahan besar dalam sikap politik kelompok yang sudah terlanjur dilabeli oleh beberapa organisasi internasional sebagai teroris tersebut.
Hamas kini menyatakan kesediaannya untuk melepaskan semua sandera Israel, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran yang diformulasikan dalam rencana Gaza Plan Donald Trump.
Selain itu, Hamas juga bersedia menyerahkan urusan administratif Gaza kepada suatu badan teknokrat independen Palestina yang tidak berafiliasi langsung dengan Hamas sendiri.
Namun, di sisi lain, Hamas belum bersedia secara terbuka menyetujui poin-poin paling krusial di dalam Gaza Plan, terutama tentang poin pelucutan senjata dan pengakhiran total peran militer Hamas di Gaza.
Langkah Hamas ini tentu tidak muncul dalam ruang hampa alias tidak lahir begitu saja. Keputusan tersebut lahir dari perubahan besar dalam konstelasi kekuatan di Timur Tengah, serta dari tekanan luar biasa di dalam tubuh organisasi itu sendiri setelah dua tahun berperang yang memporakporandakan hampir seluruh basis kekuatannya di Gaza.
Secara umum bisa dikatakan bahwa persetujuan Hamas atas sebagian isi Gaza Plan mencerminkan kelelahan struktural dari organisasi Hamas, baik secara fisik, politik, maupun ideologis, serta munculnya realisme baru yang mulai diterima oleh Hamas dari berbagai kondisi yang tidak lagi menguntungkannya saat ini.
Pertama, dari sisi geopolitik, Hamas tidak lagi memiliki fondasi dukungan sekuat satu dekade lalu.
• PBB Resmi Menyatakan Israel Melakukan Genosida Warga Palestina di Gaza, Apa Sikap Indonesia?
Iran, yang selama ini menjadi tulang punggung utama dukungan finansial dan militer Hamas, kini berada dalam posisi yang sudah jauh lebih lemah. Serangan siber besar-besaran dan serangkaian operasi militer Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran sejak awal 2025 telah melumpuhkan sebagian besar kemampuan strategis Teheran. Negara itu kini berupaya keras mempertahankan stabilitas dalam negeri sekaligus memperbaiki citra internasionalnya.
Dalam kondisi seperti ini, Iran tak lagi bisa menjadi sponsor utama bagi Hamas, baik dalam bentuk senjata, dana, maupun dukungan logistik yang dulu begitu vital bagi keberlangsungan perlawanan Hamas di Gaza.
Kedua, perubahan signifikan juga terjadi di Suriah. Setelah pergantian kepemimpinan di Damaskus, orientasi politik Suriah terhadap Hamas menjadi jauh lebih dingin. Rezim baru yang lebih pragmatis berusaha memperbaiki hubungan dengan negara-negara Teluk dan menjauh dari orbit Teheran.
Dengan kata lain, Suriah tak lagi menjadi jalur suplai penting bagi Hamas seperti sebelumnya.
Dukungan politik dan ruang logistik yang dulu terbuka kini menipis.
Bagi Hamas, kehilangan dukungan Suriah berarti kehilangan satu simpul penting dalam jaringan regional yang menopang eksistensinya selama ini.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.