Opini
Homo Lombokensis: Arah Baru Lombok
Arah baru Lombok tidak bisa lagi didasarkan pada legenda, mitos atau bisikan leluhur
Oleh: Salman Faris
Sama seperti setiap sudut lain di dunia, peradaban di Lombok telah berabad-abad terkungkung dalam lingkaran setan yang sama. Kita, sebagai Homo sapiens yang bermigrasi dari belahan dunia yang luas ini, pada dasarnya adalah spesies yang berhasil menaklukkan dunia, tetapi juga spesies yang rentan terhadap kerapuhan. Kerentanan ini, di Lombok, terwujud dalam bentuk yang paling brutal yakni, 1) kelaparan, 2) wabah penyakit, dan 3) penjajahan peperangan. Ketiga hantu ini bukan sekadar insiden, melainkan pilar-pilar yang membentuk realitas kehidupan manusia Lombok selama ribuan tahun.
Pertama, kelaparan. Selama berabad-abad, hidup di Lombok adalah tawar-menawar yang tak pasti dengan alam. Musim kemarau yang berkepanjangan dapat mengeringkan sawah dan ladang, menghilangkan sumber makanan utama. Bencana alam, seperti letusan Gunung Rinjani atau gempa bumi, dapat menghancurkan hasil panen dan memutus rantai pasokan. Manusia Lombok, dihadapkan pada ancaman kelaparan yang konstan, terus-menerus tanpa henti karena mereka sangat bergantung pada alam.
Sementara mereka tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengembangkan alam menjadi ilmu pengetahuan dan peradaban. Akibatnya, terpaksa mengalihkan energi dan kecerdasan mereka untuk urusan perut. Ini bukan saja tentang kemajuan, invensi atau inovasi. Ini ialah tentang bertahan hidup. Ya, peradaban paling besar dan paling tinggi manusia Lombok adalah bertahan hidup. Dan itulah penanda bagi kehebatan mereka, sejatinya. Dalam kondisi ini, tidak ada ruang untuk seni, sains, atau filsafat yang mendalam. Pikiran hanya berpusat pada satu pertanyaan: "Bagaimana saya bisa makan besok?" “Bagaimana saya tidak terlalu cepat mati?” Demi keperluan pertanyaan itu, mereka sangat terbelakang fokus dari perjuangan kemajuan.
Baca juga: Minimnya Literatur Sejarah Lombok Mendorong Gegen dan Rekan-rekan Bentuk Komunitas LHSS di NTB
Bayangkan saja, di masa kini, ketika tembakau selalu berwajah dua. Luka tangis dan senyum tawa, manusia Lombok belum berhasil membangun peradaban keilmuan pertanian yang terdepan agar bagaimana pun cuaca, bagaimana pun alam bergolak, hasil pertanian tembakau yang berkualitas, yang menguntungkan petani dapat dicapai. Ini menjadi penanda, sejatinya manusia Lombok masih amat sedikit waktu untuk mencapai kemajuan tinggi karena lebih banyak waktu dihabiskan untuk mengurusi perut lapar dan tubuh yang tidak sehat.
Kemudian, wabah penyakit. Tanpa sanitasi modern dan pengetahuan medis yang memadai, penyakit menular menyapu bersih populasi secara berkala. Demam, kolera, dan penyakit yang tidak teridentifikasi menjadi ancaman yang lebih mematikan daripada invasi militer. Angka harapan hidup rendah, dan setiap keluarga kehilangan anak-anak mereka karena penyakit yang hari ini dapat disembuhkan dengan mudah. Kondisi ini menumbuhkan fatalisme yang mendalam. Nasib dianggap takdir yang tak bisa diubah, dan energi yang seharusnya digunakan untuk membangun masa depan dihabiskan untuk berdoa dan ritual dalam kelaparan.
Mayat-mayat yang bergelimpangan sepanjang jalan, di setiap desa-desa yang miskin, pun menjadi sumber penyakit baru. Tentu saja menambah panjang rentetan wabah yang sudah lama mengancam manusia Lombok. Tidak tanggung-tanggung, populasi yang dikeributi oleh kelaparan itu, makin hari semakin menyusut. Mereka yang bertahan hidup, bukan karena sehat. Melainkan karena ajal mereka belum waktunya. Ini menegaskan bahwa manusia Lombok, tidak pernah benar-benar mempunyai waktu untuk berpikir dan berjuang tentang peradaban, tentang kehormatan, tentang ilmu pengetahuan, tentang kemenangan.
Terakhir, peperangan. Sejarah Lombok dipenuhi dengan konflik internal dan eksternal. Perebutan wilayah, kekuasaan, atau sumber daya alam seringkali berujung pada pertumpahan darah. Peperangan tidak hanya menghancurkan kehidupan dan properti, tetapi juga memutus rantai transmisi pengetahuan dan peradaban dunia. Ketika sebuah sistem masyarakat yang sudah hancur, pengetahuannya seringkali ikut hilang. Diperburuk oleh tahap peradaban paling tinggi Lombok adalah tradisi lisan. Musnah manusia, lenyap pengetahuan. Amat miskin catatan, karena memang manusia Lombok tidak pernah ada kesempatan untuk mengenali huruf. Manusia Lombok, jangankan kesempatan untuk membangun jembatan dan sekolah, bahkan untuk membangun pertahanan hidup saja tidak sempat.
Jika membuka tabir sejarah yang meskipun amat terbatas itu, dapat diketahui bahwa peperangan telah berperan penting dalam menyusutkan populasi Lombok. Tentu saja selain itu juga peperangan telah berandil besar dalam menenggelamkan Lombok di lubang keniayaan dan kebodohan. Karena itu, hasil kreativitas manusia Lombok yang dapat dijumpai pada masa kini, sejatinya adalah produk mimesis yang baru terjadi. Peniruan dari kolonial. Peninggalan penjajah. Bukan merupakan transmisi leluhur dari waktu ke waktu. Logikanya, jangankan untuk menghasilkan produk ukiran yang canggih, bahkan untuk makan, untuk hidup sehat dan hidup merdeka saja, orang Lombok tidak sempat.
Jadi pengibulan sejarah yang paling nyata di tengah-tengah Lombok itu ialah ketika manusia Lombok kini mendoktrin diri mereka dan orang lain tentang produk kebudayaan mereka yang tinggi. Tentang kehormatan mereka yang kuat. Kebudayaan apa yang bisa dihasilkan oleh manusia lapar dan berpenyakitan? Kehormatan apa yang bisa dipundaki oleh manusia sakit dan lapar? Seharusnya ini menjadi dasar pertanyaan bagi manusia Lombok masa kini untuk dapat lebih realistis dan masuk akal dalam menimbang kebudayaan dan kehormatan mereka.
Yang paling ironis dari semua ini adalah kegagalan manusia Lombok untuk belajar dari pengalaman pahit tersebut. Ketika kelaparan, wabah, dan perang mereda, bukan karena kecerdasan kita, tetapi karena evolusi peradaban global yang membawa teknologi baru seperti pertanian modern, obat-obatan, dan stabilitas politik. Malangnya, kita tidak menggunakan momentum itu untuk membangun arah baru. Sebaliknya, kita cenderung terjebak dalam narasi lama.
Kita masih melihat sejarah bukan sebagai serangkaian kesalahan yang harus dihindari, tetapi sebagai kisah heroik yang glorifikasi masa lalu. Sebenarnya apa yang bisa dibanggakan dari sejarah kelaparan, kematian karena wabah penyakit, keterjajahan dalam perang selain hanya bisa bertahan hidup?
Kita masih merayakan perang dan penguasa kuno, tanpa pernah benar-benar memahami biaya kemanusiaan yang harus dibayar. Kita masih percaya pada narasi bahwa kemiskinan adalah takdir, tanpa mempertanyakan sistem yang menahannya. Kita masih terjebak dalam siklus konflik-konflik kecil, yang meskipun tidak sebrutal perang masa lalu, tetap menggerogoti energi dan potensi kolektif.
Jika kita ingin melangkah maju, kita harus memahami bahwa masa depan tidak akan dibangun di atas mitos. Masa depan harus dibangun di atas pengetahuan yang tuntas. Seperti halnya yang dilakukan oleh bangsa-bangsa besar (Cina, Yahudi, India) yang menyelami evolusi manusia dari sudut pandang biologis dan historis, kita harus melakukan hal yang sama untuk Lombok. Kita harus menanggalkan narasi yang idealis buta tentang nama baik dan kehormatan. Kemudian memulai membaca sejarah kita apa adanya. Menelanjangi sejarah kita sendiri akan memberikan peluang kehormatan lebih besar di masa mendatang.
Kita harus berani menghadapi fakta bahwa nenek moyang kita, di samping mempunyai kekuatan untuk bertahan, juga memiliki begitu banyak kelemahan. Kita harus belajar tentang kelaparan yang sebenarnya, bukan hanya sebagai cerita heroik tentang ketahanan, tetapi sebagai tragedi yang harus kita pastikan tidak akan pernah terulang. Kita harus mempelajari tentang wabah yang memusnahkan, bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk menghargai pentingnya sains dan kesehatan. Kita harus mengupas tuntas peperangan, bukan untuk mengagungkan pahlawan, tetapi untuk memahami betapa sia-sianya konflik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.