Opini
59 Tahun UIN Mataram: Paradoks Unggul dengan Realitas Jalan Gajah Mada
UIN Mataram berdiri di tengah pusaran urbanisasi yang tidak lagi terkendali.
Oleh: Salman Faris
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Kita maklum, lima puluh sembilan tahun adalah usia matang bagi sebuah perguruan tinggi. Namun kita juga wajib memiliki kesadaran bahwa telah terjadi paradoks antara capaian yang unggul UIN Mataram dengan kenyataan sosial yang membingkai. Kampus ini tumbuh di jalan Gajah Mada, sebuah kawasan yang sedang berubah dengan sangat cepat menjadi laboratorium kecil dari paradoks modernitas kota Mataram. Antara kemajuan dan kesesakan. Antara pembangunan dan kehilangan arah tata ruang.
Kita juga mesti melihat bahwa pemilihan kampus UIN Mataram di jalan Gajah Mada adalah salto improvisasi. Antara keinginan pendahulu untuk mengembangkan UIN Mataram, kemudian ada tanah kosong yang mampu dibeli, lalu dipersepsikan strategis. Ini menunjukkan bahwa kampus jalan Gajah Mada tidak berdasarkan perhitungan matang atas masa depan yang rapuh, yang kini mulai dirasakan di kawasan tersebut.
Beberapa hal yang pasti akan terjadi dalam 5 sampai 10 tahun yang akan datang di jalan Gajah Mada. 1) UIN Mataram akan dikepung oleh kesesakan ekosistem. Pembangunan pemukiman dan ruang perniagaan yang semakin mempertegas jurang ekonomi antar-elit dan rakyat miskin. Harga properti dan komoditas akan terus meningkat sementara kemiskinan semakin terhunjam ke dasar kesengsaraan. 2) UIN Mataram akan berada di tengah-tengah kebisingan, kemacetan, kesesakan psikologis dan keterjepitan pergaulan sosial. 3) UIN Mataram akan tenggelam oleh banjir karena ruang pembuangan air yang semakin kecil dan pergeseran tanah yang lebih cepat akibat pembangunan tanpa perhitungan dan pembanguna tanpa asas keadilan.
UIN Mataram berdiri di tengah pusaran urbanisasi yang tidak lagi terkendali. Sekitar kampus, bangunan-bangunan baru terus tumbuh, tidak dengan rencana tata kota yang matang, tetapi dengan semangat ekonomi cepat dan akumulasi kapital. Perumahan, ruko, dan kantor pemerintahan membentuk pola ruang yang menekan lingkungan akademik.
Jalan Gajah Mada yang dahulu menjadi simpul tenang kini bertransformasi menjadi lorong kemacetan. Suara klakson menjadi latar permanen perkuliahan. Pembauran sosial yang semakin rumit dan kabur. Kelas-kelas sosial mulai terbentuk secara jelas. Dalam situasi ini, capaian unggul tidak lagi mudah didefinisikan. Sebab keunggulan akademik yang tumbuh di tengah kerumitan sosial, laju pembangunan yang ceroboh, dan ketimpangan ekonomi akan selalu diuji oleh realitas tersebut.
Pembangunan di sekitar kampus tidak hanya mengubah wajah fisik, tetapi juga menggeser makna ruang akademik itu sendiri. Ketika lahan semakin sempit dan drainase tersumbat oleh beton, UIN Mataram menghadapi ancaman ekologis yang nyata. Banjir dan pergeseran tanah. Ruang pembuangan air yang makin kecil menjadi simbol dari krisis perencanaan kota yang tidak peka terhadap keberlanjutan. Di tengah situasi ini, UIN Mataram yang seharusnya menjadi pelopor kesadaran ekologis justru tampak terperangkap dalam arus pragmatis pembangunan.
Dalam 5 sampai 10 tahun ke depan, Jalan Gajah Mada akan menjadi contoh sempurna tentang benturan antara logika pengetahuan dan logika kapital. Ketika kantor wali kota Mataram dan berbagai pusat ekonomi mulai beroperasi, UIN Mataram akan dikepung oleh aktivitas yang serba cepat, serba sibuk, dan serba komersial. Kampus akan kehilangan jarak simboliknya sebagai ruang berpikir dan berubah menjadi bagian dari ritme kota yang padat dan bising. Pada saat itu, keunggulan yang dideklarasikan dalam dokumen visi dan misi bisa menjadi ilusi jika tidak disertai upaya serius untuk menciptakan ruang akademik yang mandiri dari tekanan urban.
Baca juga: OPINI: NTB Darurat Perkawinan Anak, Mengapa DP3AP2KB Harus Berdiri Tegak?
Oleh karena itu, UIN Mataram perlu memandang masa depan dengan 1) kesadaran kritis. 2) Kesadaran kenyataan. 3) Keberpihakan kepada kenyataan. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa unggul bukan kenyataan melainkan pencapaian adiministratif. Sebelumnya, keputusan membangun kampus baru di jalan Gajah Mada bukan sekadar strategi ekspansi fisik, tetapi keharusan ekologis dan epistemologis. Ruang akademik memerlukan jarak dari hiruk-pikuk kota agar dapat berfungsi sebagai tempat kontemplasi, penelitian, dan pencarian jalan keluar. Namun kenyataannya, UIN Mataram terjebal pada dimensi yang bertindih antar velositi dan kenyataan di sekitar yang semakin terbenam.
UIN Mataram juga harus memperlambat kedatangan masa depan yang rapuh. Istilah ini penting karena memperlambat, bukan menolak. Sebab masa depan yang dibentuk oleh kapitalisme urban dan pembangunan tak terkendali tidak bisa ditolak sepenuhnya, tetapi dapat diintervensi dengan paradigma alternatif. UIN Mataram harus mengembangkan paradigma pembangunan berbasis komunitas. Gerakan sosial yang menghubungkan akademisi dengan masyarakat di sekitarnya. Selama ini, UIN Mataram berbicara tentang pengabdian masyarakat, bisa jadi tanpa sepenuhnya menarik benang merah antara masyarakat yang sedang kehilangan ruang hidup akibat pembangunan.
Dalam kerangka itu, restrukturisasi kurikulum menjadi keharusan mendesak. Kurikulum yang hanya mencetak sarjana tanpa kemampuan membaca kenyataan tidak akan memberi kontribusi apa pun terhadap masa depan. Di tengah perubahan sosial yang cepat, UIN Mataram harus berani menempatkan realitas sebagai laboratorium utama. Kurikulum harus dirancang untuk mengasah kemampuan mahasiswa membaca persoalan riil seperti kemacetan, kesenjangan sosial, bencana ekologis, urbanisasi liar, dan transformasi budaya. Artinya, arah pendidikan tidak lagi sekadar menghasilkan ijazah, tetapi menghasilkan kesadaran kritis terhadap kehidupan.
Sangat penting dihargai komitmen UIN Mataram terkait akreditasi, peringkat, dan indikator kinerja. Semua itu penting, tetapi tanpa kesadaran realitas sosial, keunggulan yang dibangun hanya bersifat administratif. Keunggulan merupakan pengadminitrasian pekerjaan. Namun tidak serta-merta bermakna keunggulan dapat menyelami kenyataan di jalan Gajah Mada yang akan terus bertambah runyam.
Pada titik ini, UIN Mataram harus mengembangkan ekosistem akademik yang berorientasi pada penyelesaian masalah nyata. Berpikir harus bertumpu pada di mana kaki berijak. Teori atas kenyataan harus diciptakan. Bukan semakin terbungkam oleh teori besar yang semakin membubung jauh dari kenyataan di jalan Gajah Mada. Budaya ilmiah tidak boleh berhenti pada ruang seminar dan laporan penelitian, tetapi harus menjelma menjadi tindakan sosial yang konkret.
Mahasiswa perlu dilatih untuk berpikir interdisipliner, dosen perlu didorong untuk meneliti masalah kota dan masyarakat di lingkaran UIN Mataram dengan cara-cara baru yang melibatkan warga sebagai mitra sejajar. Keilmuan Islam yang menjadi dasar identitas kampus juga harus ditafsir ulang agar mampu berbicara dengan konteks sosial modern. Bukan sekadar dogma, tetapi etika sosial yang menuntun pembangunan berkeadilan.
Paradoks UIN Mataram hari ini terletak pada jarak antara cita-cita akademik dan realitas Jalan Gajah Mada. Kampus ini sebagai yang pertama berperingkat unggul di NTB, tetapi ruang di sekitarnya semakin rapuh. Perkembangan pemikiran dan kajian tentang keislaman dan kemanusiaan, bisa jadi meningkat, tetapi masyarakat di sekitarnya terjebak dalam logika pembangunan yang meminggirkan. Ini menegaskan bahwa UIN Mataram dikungkungi oleh kenyataan yang belum terbaca. Kenyataan di mana jalan Gajah Mada dan ekosistem lainnya menuju kerapuhan.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.