Opini
Sasak, Bangsa Tanpa Pemimpin Kultural
Sebelumnya saya ingin perjelas dulu apa yang dimaksudkan pemimpin kultural dalam konteks bangsa Sasak
Hanya saja, di tengah kekuatan pengaruh kedua tokoh yang tak ada bandingannya itu, muncul persoalan. Terutama dalam mendifiniskan dan memahami pemimpin di kalangan orang Sasak, di mana orang Sasak yang sudah mempunyai catatan sejarah panjang hanya bisa disatukan oleh pemimpin kultural. Kemudian berubah pemahaman tentang kepemimpinan itu kepada pemimpin struktural. Perubahan pemahaman dan penerimaan itu berdampak kepada pergeseran besar ke arah pemimpin struktural sebagai yang arus utama.
Dampak lain yang tidak kalah genting adalah Lalu Nasip dan al-Mahsyar hanya dilihat sebagai kaum intelektual yang tercerahakn. Bahkan yang paling miris adalah mereka hanya disebut sebagai seniman, sebagai penghibur penderitaan panjang orang Sasak.
Satu sebutan yang sangat tidak setimpal dibandingkan kontribusi peradaban yang telah mereka sumbangkan. Orang Sasak begitu enggan menempatkan kedua tokoh tersebut sebagai figur sentral yang telah menyatukan bangsa Sasak.
Malang semakin tak terbendung ketika malahan, pemimpin struktural dijadikan sebagai acuan utama. Tanpa menempatkan pemimpin kultural dalam garis yang sejajar dengan pemimpin struktural. Ini dapat menegaskan betapa orang Sasak tidak pandai mengaji sejarah. Tidak mempunyai ilmu pengetahuan yang mumpuni untuk merumuskan sejarah kelam sebagai senjata kemajuan.
Selain itu, pergesearan tersebut juga telah memperlihatkan betapa orang Sasak telah masuk dalam arus perubahan tanpa ada pegangan teguh kepada sejarah mereka sendiri, yang berpotensi membuat mereka terus mengulang-ulang kesalahan dan kegagalan membangun kesadaran kolektif kebangsaan Sasak.
Padahal sejarah mereka banyak mencatat bagaimana lacurnya nasib orang Sasak di bawah pemimpin struktural. Pemimpin yang bertumpu pada kepentingan politik dan kuasa. Maka, dengan tegas saya nyatakan bahwa dalam situasi semacam itu, terjadi kehilangan logika bangsa Sasak dalam merumuskan kedudukan pemimpin kultural, yang sekali lagi, yang sebenarnya mereka lebih perlukan.
Dalam hal ini juga, orang Sasak telah abai dengan menutup mata terhadap sejarah kesatuan mereka sendiri dengan lebih menumpukan kepemimpinan kepada pemimpin struktural. Dengan kata lain, bangsa Sasak yang tidak membangun kesadaran kolektif tentang signifikasi pemimpin kultural ini, akan terus terjebak ke dalam ruang konflik internal yang tak henti-henti mengancam.
Begitulah ketika pemimpin hanya dipahami, dihormati, dijunjung tinggi dalam konteks semata-mata kekuasaan dan politik. Maka jadilah bangsa Sasak telah gagal membangun pola peradaban terkait pemimpin kultural yang telah memberikan kontribusi besar dalam kehormatan sejarah mereka sebagai bangsa.
Malaysia, 21 Agustus 2025
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.