Opini
Korupsi atau Sistem yang Gelap
Korupsi sejak lama dipahami sebagai bentuk kejahatan yang menghancurkan fondasi sebuah negara.
Oleh: Salman Faris, Dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia
TRIBUNLOMBOK.COM - Korupsi sejak lama dipahami sebagai bentuk kejahatan yang menghancurkan fondasi sebuah negara. Ia bukan sekadar pencurian uang, melainkan penjarahan terhadap hak publik yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat luas.
Sudah pasti, tidak boleh ada toleransi sedikit pun untuk membenarkan tindakan itu, sebab kerusakan yang ditimbulkan jauh melampaui kerugian materi.
Koruptor merampas kesempatan generasi muda, menghancurkan pelayanan publik, menutup akses rakyat terhadap kesejahteraan, dan memperdalam jurang ketidakadilan.
Dengan kerusakan sebesar itu, hukuman bagi mereka sepatutnya jauh lebih berat daripada kriminalitas biasa. Akan tetapi, ketika diskusi mengenai korupsi hanya berhenti pada level individu, kita berisiko mengabaikan lapisan persoalan yang lebih rumit.
Bagaimana menjelaskan fenomena ketika seseorang yang selama hidupnya dikenal baik, berdedikasi, dan menjaga nama baik keluarga, tiba-tiba menjadi pelaku korupsi setelah memasuki arena pemerintahan. Pertanyaan inilah yang sering terlewatkan. Padahal, bagi saya ini justru mengandung inti masalah yang lebih mendalam.
Secara umum masyarakat cenderung melihat korupsi sebagai kesalahan pribadi. Logikanya sederhana, ada orang yang sejak awal memang jahat, rakus, dan tidak bermoral, lalu ketika diberi kekuasaan dengan sangat lihai memanfaatkan kuasa di tangan untuk memperkaya diri.
Pandangan ini memberi kesan bahwa kejahatan hanya berasal dari tabiat individu yang memang buruk. Oleh karena itu, cara memberantas korupsi dianggap cukup dengan memburu pelakunya dan memberikan hukuman paling berat.
Narasi semacam itu sangat populer, sebab dapat memberi rasa puas secara moral kepada masyarakat. Kita seakan telah menemukan penjelasan mengapa negara dirusak, ya karena ada orang-orang tamak yang menghuni lembaga negara.
Akan tetapi, narasi ini tidak bisa menjelaskan fenomena yang kerap membuat publik terkejut yakni sebagaimana yang saya sampaikan di atas, seseorang yang dikenal teguh menjaga integritas, yang selama puluhan tahun mempertahankan reputasi baik, dan yang dianggap simbol kejujuran, tiba-tiba terjebak dalam kasus korupsi begitu masuk ke dalam birokrasi pemerintahan. Jika kejahatan hanya soal karakter, maka saya berpandangan bahwa logika saja tidak akan sanggup memahami pergeseran drastis itu.
Fenomena ini menimbulkan paradoks. Bagaimana mungkin orang yang mengorbankan seluruh hidupnya demi menjaga nama baik dan kehormatan keluarga rela menghancurkan semuanya dengan satu tindakan jahat.
Tidak mungkin reputasi yang dibangun selama puluhan tahun dihancurkan dengan begitu saja tanpa adanya kekuatan besar yang memaksa. Apakah selama ini mereka hanya berpura-pura menjadi orang baik? Atau ada mekanisme tertentu dalam pemerintahan yang menjerat orang ke dalam lingkaran kegelapan?
Pertanyaan yang kedua membawa kita pada sebuah realitas pahit, yakni sistem pemerintahan modern memiliki struktur yang tidak netral. Ia berlapis dengan jaringan kepentingan, budaya patronase, dan praktik balas budi politik yang justru mendorong orang untuk melanggar integritas sendiri. Ketika seseorang masuk ke dalam jaringan itu, ia tidak hanya membawa niat pribadi, tetapi juga harus menghadapi tekanan dari sekitarnya.
Orang baik yang ingin melawan arus bisa dipinggirkan. Bahkan sangat berpotensi diskenario menjadi musuh bersama. Maka jalan yang paling mudah adalah menyesuaikan diri dengan pola yang sudah mapan, meskipun itu berarti mengkhianati prinsip moral dan integritas yang sebelumnya diperjuangkan secara teguh.
Kalau kecurigaan saya di atas benar, maka patut kita kuatkan lagi kecurigaan yang menyasar kepada sistem pemerintahan. Jangan-jangan sistem pemerintah memang mesin otomatis paling brutal yang pernah ada dalam peradaban manusia. Sistem yang membrutal, yang difungsikan untuk mengkoruptorkan siapa saja yang dikehendaki. Atau bahkan menjahatkan semua yang berada di dalamnya.
Partai Politik dan Penonaktifan Anggota Dewan: Krisis Sistemik Demokrasi Indonesia |
![]() |
---|
Bayang-bayang "Failed State" - Barometer yang Memburuk dan Membaca Gravity of Blame |
![]() |
---|
In Memoriam H. Lalu Nasib AR: Orang Sasak Terbaik |
![]() |
---|
Desa Berdaya, Jalan Sunyi Penanggulangan Kemiskinan dari Akar |
![]() |
---|
Tarian NTB di Istana untuk NTB Makmur Mendunia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.