Opini
Pameran Kurban
Ibadah yang seharusnya tersembunyi dalam ruang sunyi antara manusia dan Tuhan, kini menjelma menjadi pameran terbuka tentang jumlah, jenis, dan ukuran
Maka, terbentuklah kesan bahwa berkurban adalah soal pameran, bukan soal perenungan. Bahkan ada yang merasa malu untuk berkurban secara sederhana karena takut dinilai kurang berdaya.
Budaya seperti ini justru menjauhkan manusia dari tujuan ibadah yang sejati yaitu mendekat kepada Tuhan, bukan mendekat kepada opini publik.
Ironisnya, budaya pamer kurban ini banyak didorong oleh tokoh-tokoh agama sendiri. Dalam upaya menarik donatur dan memperluas pengaruh lembaga, sebagian dari mereka mempromosikan kurban dengan narasi keberlimpahan.
Ada lembaga yang menjadikan kurban sebagai proyek eksklusif, menawarkan paket-paket dengan harga fantastis, dilengkapi dokumentasi dan sertifikat. Di sisi lain, masyarakat kecil semakin merasa bahwa kurban bukanlah ruang spiritual mereka. Melainkan milik mereka yang punya modal.
Jika ditarik ke ranah politik, pameran kurban juga dijadikan alat pencitraan. Para pejabat memanfaatkan momen Iduladha untuk menunjukkan kepedulian sosial mereka. Mereka membagikan hewan kurban sambil mengenakan lambang dan logo tertentu.
Tersenyum di depan kamera dan memastikan dokumentasi tersebar luas. Kurban pun tidak lagi menjadi persembahan kepada Tuhan, melainkan alat untuk meneguhkan klaim moral di hadapan publik. Di titik ini, saya bertanya dengan getir, kepada siapa sebenarnya kurban itu disembelih?
Dalam ketiadaan keteladanan spiritual, masyarakat justru meniru praktik luar yang tidak mencerminkan ruh agama. Kurban yang dahulu dilakukan dengan senyap dan tanpa publikasi, kini dirayakan seperti festival.
Bahkan di beberapa tempat, pemotongan hewan dilakukan dengan pengeras suara, disiarkan langsung, dan disambut tepuk tangan. Apakah ini bentuk kekhusyukan atau sekadar euforia sosial yang kehilangan arah?
Saya selalu yakin seharusnya ajaran agama perlu dipertahankan dalam maknanya yang terdalam. Bukan hanya dilestarikan dalam bentuk luar. Kurban bukanlah soal jumlah atau ukuran, melainkan soal pengorbanan batin.
Ketika kita menggantikan keikhlasan dengan eksibisionisme, maka yang kita rayakan bukan lagi ibadah, melainkan identitas semu yang dibentuk oleh opini sosial.
Sebagai alternatif, saya mengusulkan praktik kurban sunyi. Suatu bentuk kurban yang dilakukan tanpa kamera, tanpa spanduk, dan tanpa publikasi. Hanya ada pekurban, panitia, dan hewan yang disembelih dalam sunyi.
Dalam sunyi itu, ada keikhlasan yang tidak diklaim oleh siapa pun. Tidak ada nama yang diumumkan.
Tidak ada angka yang dibanggakan. Tidak ada citra yang dikejar. Hanya ada pengakuan bahwa segala sesuatu yang kita miliki pada akhirnya harus kita relakan demi sesuatu yang lebih besar yakni ketundukan kepada Tuhan.
Saya juga percaya bahwa pendidikan keagamaan harus mengembalikan kurban kepada makna asalnya. Para pendakwah, tokoh agama, dan lembaga sosial perlu mengingatkan umat bahwa ibadah bukan untuk diperlihatkan, tetapi untuk dijalankan dalam kesunyian hati.
Kita perlu kembali kepada semangat Ibrahim, bersedia menyerahkan apa yang paling dicintai tanpa mengharapkan tepuk tangan dari siapa pun.
| Kecimol dan Kesasakan Kita: Menemukan Cermin Akhlak dan Budaya |
|
|---|
| Pernikahan Dini: Penyebab Perceraian dan Upaya Mengatasinya dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam |
|
|---|
| 59 Tahun UIN Mataram: Paradoks Unggul dengan Realitas Jalan Gajah Mada |
|
|---|
| Jalan Panjang Menjaga Irama Desa Berdaya NTB |
|
|---|
| Membedah Dana BTT Pada APBD NTB 2025 |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/lombok/foto/bank/originals/SALMAN-FARISS.jpg)