Opini
Pameran Kurban
Ibadah yang seharusnya tersembunyi dalam ruang sunyi antara manusia dan Tuhan, kini menjelma menjadi pameran terbuka tentang jumlah, jenis, dan ukuran
Kurban menjadi semacam event, bukan lagi ekspresi spiritual. Semakin mahal harga hewan, semakin besar eksposur yang didapatkan. Lama-kelamaan, praktik ini menyebar ke lapisan masyarakat lain, seolah-olah menjadi standar kesalehan yang baru. Siapa yang tidak pamer, belum sempurna berkurban.
Tidak mengherankan jika kemudian semangat kompetitif menyusup ke dalam laku ibadah. Spanduk-spanduk di depan masjid menampilkan daftar nama-nama pekurban secara rinci.
Bahkan ada yang mencantumkan gelar akademik, jabatan, dan afiliasi politik. Tidak jarang pula kita temui dokumentasi yang difilmkan secara sinematik, lengkap dengan drone dan narasi dramatis, demi memperlihatkan kepada publik bahwa pemilik sapi tersebut adalah pribadi yang mulia dan dermawan. Maka, apakah ini masih ibadah atau telah menjadi panggung peragaan?
Agama sendiri, dalam ajaran yang orisinal, menolak segala bentuk takaburdan pertunjukan dalam laku ibadah. Nabi Muhammad SAW bahkan memperingatkan bahwa takabur adalah syirik kecil, karena ibadah yang didedikasikan kepada manusia adalah bentuk pengkhianatan kepada Tuhan.
Namun dalam praktik sosial kontemporer, kurban seolah-olah dipisahkan dari dimensi keikhlasan. Ia dijadikan alat untuk membentuk citra diri, memperluas pengaruh, dan menaikkan status sosial.
Ketika seseorang berkurban bukan karena ketakwaan, melainkan karena gengsi atau tekanan sosial, maka hakikat kurban telah tereduksi menjadi sekadar ritual luar tanpa makna batin.
Dalam konteks sosiologi agama, fenomena ini dapat dibaca sebagai gejala kapitalisasi ibadah. Kurban tidak lagi berdiri sebagai ekspresi spiritual semata, tetapi telah menjadi komoditas simbolik.
Sapi yang dikurbankan menjadi tanda akan kedudukan sosial. Semakin besar hewan yang dipilih, semakin besar pula pesan status yang dikirimkan.
Praktik ini dapat disebut sebagai modal simbolik, di mana individu menggunakan praktik kultural termasuk keagamaan untuk mempertontonkan dan memperkuat posisinya dalam struktur sosial. Dalam hal ini, kurban menjadi semacam konsumsi simbolik yang meneguhkan hierarki sosial.
Saya tidak menafikan bahwa dalam kehidupan beragama, aspek sosial dan spiritual kerap saling terkait. Namun ketika aspek sosial mendominasi dan menyingkirkan dimensi spiritual, maka ibadah kehilangan maknanya yang esensial.
Kurban yang seharusnya meleburkan ego justru menebalkan egoisme. Seharusnya kurban mendidik manusia untuk menghilangkan kesombongan. Bukan memupuknya.
Lebih memprihatinkan lagi adalah dampak psikologis dari budaya pamer kurban ini terhadap masyarakat kecil.
Di hadapan spanduk-spanduk raksasa yang menampilkan foto sapi jumbo dan nama-nama tokoh ternama, seorang buruh harian yang hanya mampu menyisihkan uang untuk berkurban seekor kambing kurus merasa kecil dan tidak berarti.
Ia mulai mempertanyakan kesalehannya sendiri, hanya karena kurbannya tidak tampak megah. Padahal, dalam timbangan Tuhan, bukan bentuk lahiriah kurban yang dilihat, melainkan keikhlasan hati.
Generasi muda pun tak luput dari dampak budaya ini. Mereka yang tumbuh dalam era digital dibombardir oleh konten-konten kurban dari para selebritas yang menampilkan hewan raksasa dan prosesi yang mewah.
Dari Puing ke Peluang, Refleksi Gempa Lombok 2018, Bangkitnya Jiwa Kolektif dan NTB Tangguh |
![]() |
---|
Abolisi dan Amnesti Prabowo, Rekonsiliasi Demi Persatuan Bangsa |
![]() |
---|
Fornas di NTB: Daya Tarik Wisata Hingga Kalkulasi Ekonomi Sang Gubernur |
![]() |
---|
Kebijakan Pembiayaan Partai Politik oleh Negara |
![]() |
---|
Gemuruh Body Contest: Mencari Titik Temu Etika, Budaya dan Olahraga di Negeri Seribu Kearifan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.