Riset Setara Institute Soal Mataram Kota Intoleran Dinilai Tidak Sesuai Fakta Lapangan

Sikap masyarakat Mataram terhadap berbagai perbedaan sangat jelas, saling memahami posisi dan kondisi

Penulis: Sirtupillaili | Editor: Wahyu Widiyantoro
TRIBUNLOMBOK.COM/JIMMY SUCIPTO
Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB, Ahsanul Khalik. Sikap masyarakat Mataram terhadap berbagai perbedaan sangat jelas, saling memahami posisi dan kondisi. 

Umat Islam menikmatinya sebagai sebuah ritual umat Hindu yang menjadi tontonan umat Islam dan memberikan ruang sangat luas.

Kemudian pada saat Nyepi, umat Islam paham tidak mengganggu keheningan Nyepi di semua tempat.

Pada berbagai proses sosial kemasyarakatan antara umat Hindu dan Islam, contohnya juga sangat harmoni, ketika ada umat Hindu melaksanakan upacara perkawinan.

Umat Islam banyak yang jadi panitianya, begitu juga sebaliknya.

Bahkan kemudian saling mengantarkan makanan yang sudah dibedakan mana yang boleh dan tidak boleh, sesuai dengan pemahaman agama masing-masing.

"Kalau dibilang Mataram intoleran, buktinya tidak ada keributan yang berarti apa lagi ketilrbutan atau konflik yang besar sekalipun," katanya.

Fakta-fakta ini menjadi penguat bahwa Mataram sangat terbuka dan antara masyarakatnya yang berbeda agama sangat toleran.

"Jadi hasil penelitian setara institut itu tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang benar," katanya.

Sejarah keagamaan di Kota Mataram sejak zaman dahulu terutama Hindu dan Islam sangat baik dan menganut sikap tidak saling mengganggu, dan faktanya memang sangat harmonis.

Baca juga: Peneliti Australia Sebut Suku Sasak Sangat Toleran, Hidup Damai dengan Warga Hindu-Bali

Selaku mantan camat Cakranegara, Kahlik punya pengalaman dan melihat langsung harmoni antara ummat beragama di Mataram.

"Saya sebagai penganut Islam pernah didaulat dalam kapasistas sebagai camat untuk menjadi Ketua Panitia Pawai Ogoh-ogoh Ummat Hindu pada Tahun 2011," katanya.

Seandainya penelitian setara institut benar, tentu di Mataram tidak akan melihat umat Hindu dan umat lainnya bisa melaksanakan ajaran agamanya dengan tenang.

"Faktanya semua berjalan dengan sangat baik," tegasnya.

Terkait penutupan beberapa rumah ibadah tahun lalau, menurut Khalik, hal itu bukan penutupan.

Tapi karena lokasi itu tidak ada izin, dan sifatnya oknum menjadikan ruko atau tempat tinggal sebagai tempat ibadah.

"Penutupan ini juga tidak dikakukan oleh masyarakat, tapi pada tahun 2021 itu pihak pemerintah kecamatan yang menghimbau dan meminta untuk menghentikan aktivitasnya," katanya.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved