Opini

Taman Budaya NTB yang Malang dan Terbelakang

Taman Budaya NTB memikul mandat ganda yang esensial. Lembaga tersebut adalah benteng preservasi sekaligus inkubator inovasi.

Editor: Sirtupillaili
TRIBUNLOMBOK.COM/DZUL FIKRI
Salman Faris. Penulis adalah dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan pengarang novel "Tuan Guru". 

Karena itu saya melihat Institusi ini pada masa kini dan masa depan yang jelas menunjukkan tidak sekadar tertinggal, tetapi secara fungsional terbelakang. Juga terisolasi dari dialog global.

Untuk mengukur kedalaman jurang keterbelakangan ini, kita dapat menggunakan dua tolok ukur penting yang merepresentasikan standar minimum dalam praktik pertunjukan teknis global yakni 1) substansi pemikiran dalam disiplin tata cahaya profesional dan 2) disiplin rekayasa mekanis panggung.

Kesenjangan antara apa yang dianggap fundamental dalam standar global dan apa yang dipraktikkan di Taman Budaya NTB adalah sebuah manifestasi kemalangan yang sistemik dan memalukan.

Mari kita bedah defisit ini pada pilar pertama, yaitu pencahayaan. Teks standar dalam tata cahaya mengartikulasikan bahwa pencahayaan modern adalah disiplin yang presisi mengenai kontrol. 

Ini bukan sekadar soal terang dan gelap. Ini adalah tentang kemampuan artistik untuk mengontrol kualitas warna melalui pencampuran aditif LED, bukan sekadar filter gel usang. 

Ini tentang mengontrol tekstur melalui proyeksi gobo (go between optics) dan pemfokusan optik yang tajam. Yang terpenting, ini tentang mengontrol waktu melalui sistem antrean adegan digital (cue digital) yang kompleks.

Standar profesional mengasumsikan sebuah ekosistem di mana konsol digital (papan kendali) berkomunikasi dengan peranti keras melalui protokol data yang stabil, memungkinkan transisi yang mulus dan sinkronisasi yang presisi.

Apa yang kita saksikan di Taman Budaya NTB? Sebuah pencahayaan yang bahkan tidak layak disebut pencahayaan pertunjukan. 

Kita tidak berbicara tentang ketiadaan lampu otomatis canggih, kita berbicara tentang ketiadaan pemahaman fundamental terhadap bahasa pencahayaan. Praktik di sana masih terkunci pada paradigma sekadar menyalakan lampu.

Konsep patching digital, pemrograman tumpukan adegan (cue stack), atau bahkan pemahaman dasar fotometrik untuk memilih instrumen yang tepat untuk jarak tembak tertentu adalah sebuah konsep yang sepenuhnya asing di Taman Budaya NTB.

Lebih parah lagi adalah pengabaian total terhadap aspek paling krusial yang menopang seluruh disiplin ini, yaitu keselamatan. Standar profesional minimum menuntut seorang teknisi mampu melakukan kalkulasi beban kelistrikan, berdasarkan Hukum Ohm (rumus dasar kelistrikan) dan perhitungan daya, untuk mencegah kelebihan beban sirkuit dan bahaya kebakaran. 

Standar profesional menuntut pemahaman absolut tentang pembumian (grounding) dan praktik kerja yang aman.

Di Taman Budaya NTB, jangankan diatur oleh metodologi diagnostik dan keselamatan, kelistrikan panggung lebih sering diatur oleh keberanian dan keberuntungan semata (modal nekad, pasrah, dan bongoh). 

Panggung Taman Budaya NTB, secara harfiah, adalah sebuah area berbahaya yang beroperasi atas dasar kelalaian yang terinstitusionalisasi.

Jika defisit bahasa cahaya sudah sedemikian parah, kondisi pilar kedua, rekayasa panggung, lebih menyedihkan. Panduan utama mengenai rekayasa panggung adalah sebuah manual tentang fisika terapan. 

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved