Opini

Taman Budaya NTB yang Malang dan Terbelakang

Taman Budaya NTB memikul mandat ganda yang esensial. Lembaga tersebut adalah benteng preservasi sekaligus inkubator inovasi.

Editor: Sirtupillaili
TRIBUNLOMBOK.COM/DZUL FIKRI
Salman Faris. Penulis adalah dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan pengarang novel "Tuan Guru". 

Oleh: Salman Faris

Saya sangat beruntung dapat menonton dua pertunjukan teater yang cukup bagus secara ide. Pada tanggal 18 Oktober 2025, saya menyaksikan Hikayat Gajah Duduk yang dipentaskan oleh Teater Kamar Indonesia. 

Kemudian pada tanggal 25 Oktober 2025, Bengkel Aktor Mataram mementaskan Dende Tamari, yang juga saya tonton secara penuh.

Dua kelompok teater ini merupakan salah satu kelompok teater penting dalam sejarah perkembangan kesenian di NTB. Dua karya yang dipentaskan pun, cukup mendorong daya tafsir atas ide-ide yang menunjukkan kemampuan reinvensi atas fenomena sosial dan budaya.

Hanya saja, sepanjang pertunjukan, saya sangat terganggu dengan keadaan gedung pertunjukan, yang saya sendiri tidak mempunyai banyak pilihan kata untuk menilai selain menyebut gedung pertunjukan yang usang dan terbelakang. 

Dari segi keperluan 1) pencapaian estetika, 2) keperluan kenyamanan, serta 3) keselamatan, sungguh memang usang dan terbelakang. Karena kedua hal itu, maka dengan penuh keyakinan saya menegaskan bahwa sungguh malang Taman Budaya NTB.

Kondisi tersebut tentu saja tidak dapat menyumbang secara signifikan terhadap pencapaian artistik kelas tinggi. Jangankan bermain di tingkat global sebagaimana arah pengembangan NTB saat ini, bermain di wilayah lokal saja, Taman Budaya NTB masih kalah jauh.

Karena itu, talenta muda industri kreatif yang semestinya dapat berkembang jauh lebih pesat, terkendala oleh infrastuktur Taman Budaya NTB yang malang dan terbelakang. 

Jangankan talenta muda bermimpi untuk menciptakan inovasi dan invensi dalam dunia industri kreatif, sekadar untuk memenuhi keperluan kreatif yang paling sederhana pun, Taman Budaya NTB masih sangat jauh dari harapan. Bahkan, harapan itu tidak ada.

Taman Budaya NTB memikul mandat ganda yang esensial. Lembaga tersebut adalah benteng preservasi sekaligus inkubator inovasi. Rahim tempat tradisi diciptakan kembali melalui daya kembang sekaligus laboratorium tempat ekspresi artistik kontemporer diuji dan dikembangkan.

Baca juga: Tantangan Utama Gubernur Iqbal dari Bangsa Sasak Sendiri

Namun, fungsi kedua ini, fungsi inovasi, secara fundamental terikat pada penguasaan medium. Fungsi Taman Budaya NTB sebagai ibu kandung inovasi kesenian dan kebudayaan secara mendasar bergantung pada adaptasi dan penguasaan teknologi. 

Dalam seni pertunjukan kontemporer, teknologi bukanlah sekadar hiasan. Lebih jauh dari itu, teknologi adalah infrastruktur, tata bahasa, dan medium ekspresi itu sendiri. 

Kegagalan mengadopsi dan menguasai teknologi pertunjukan yang relevan secara profesional adalah sebuah vonis mati bagi pencapaian artistik.

Inilah tragedi presisi yang melanda Taman Budaya NTB. Sejak berdirinya pada 23 April 1991, institusi ini terperangkap dalam stagnasi teknologi panggung yang akut. 

Mungkin saja pada awal berdirinya dulu, Taman Budaya NTB menjadi yang terdepan. Namun, itu adalah masa lalu.

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved