Opini

Taman Budaya NTB yang Malang dan Terbelakang

Taman Budaya NTB memikul mandat ganda yang esensial. Lembaga tersebut adalah benteng preservasi sekaligus inkubator inovasi.

Editor: Sirtupillaili
TRIBUNLOMBOK.COM/DZUL FIKRI
Salman Faris. Penulis adalah dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan pengarang novel "Tuan Guru". 

Inti dari disiplin ini adalah transformasi pergerakan panggung dari sekadar tenaga kerja manual menjadi sebuah sistem mekanis yang terkalkulasi, aman, dan dapat diulang. Disiplin ini dibangun di atas fondasi kalkulasi gaya, torsi, dan daya.

Disiplin ini menuntut seorang desainer teknis untuk menghitung gaya inersia dan gesekan untuk menggerakkan sebuah gerobak panggung (wagon), atau menghitung momen inersia dan torsi yang dibutuhkan untuk sebuah panggung putar (turntable).

Di Taman Budaya NTB, desain mekanis adalah sebuah konsep yang sepenuhnya kosong. Pergerakan skenografi tidak diatur oleh aktuator hidraulik, pneumatik, atau bahkan motor listrik sederhana yang terhubung ke katrol (winch) atau derek. 

Pergerakan tersebut diatur oleh tenaga otot para pekerja panggung dalam kegelapan.

Ini bukan otomatisasi panggung (otomatia skenik), ini adalah praktik gotong royong era prateknologi yang tidak memiliki presisi, tidak dapat diulang, dan sangat tidak efisien. Sekaligus sangat primitif.

Aspek sentral dari rekayasa panggung profesional adalah kalkulasi faktor keamanan. Seorang teknisi profesional menghitung beban kerja aman dari seutas kabel baja atau kapasitas sebuah motor, seorang teknisi profesional merancang sistem gagal-aman (fail-safe) dan rem darurat.

Di Taman Budaya NTB, faktor keamanan digantikan oleh doa. Ketidakmampuan untuk mengadopsi prinsip rekayasa dasar ini berarti membiasakan (bahkan membudaya) pekerja kreatif yang pentas di Taman Budaya NTB secara efektif terbatas pada skenografi statis. 

Setiap ambisi untuk menciptakan panggung yang dinamis, bergerak, atau bertransformasi secara mekanis, sebuah standar dalam pertunjukan kesenian dan kebudayaan kontemporer, seketika dipadamkan oleh keterbelakangan infrastruktur ini.

Karena itu, saya ingin menegaskan bahwa keterbelakangan teknologi yang memalukan ini bukanlah takdir. Ini jelas merupakan produk dari tiga kegagalan struktural yang saling mengunci.

1) Lemahnya kebijakan penganggaran. 

Ini adalah kegagalan cara pandang (epistemologis) di tingkat pengambil kebijakan. 

Anggaran yang dialokasikan merefleksikan pandangan para pengambil kebijakan anggaran bahwa seni adalah aktivitas seremonial berbiaya rendah, bukan sebuah industri profesional berteknologi tinggi. 

Mereka berpikir bahwa kebudayaan adalah santapan makhluk halus. 
Investasi pada konsol pencahayaan digital (papan kendali lampu) atau sistem katrol (winch) bermotor dianggap sebagai kemewahan yang boros, bukan sebagai infrastruktur dasar yang esensial, setara dengan membeli mikroskop untuk laboratorium biologi. 

Mereka beranggapan bahwa untuk menjadi tuan di rumah sendiri dalam arus deras global dan industri, tidak perlu berinvestasi pada kebudayaan. Bahkan bisa jadi, di kepala mereka tak pernah samasekali terlintas tentang kesenian dan kebudayaan.

2) Rendahnya pengetahuan pemangku kebijakan. 

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved