Opini

Kantor Gubernur NTB Rasa Bali, Legasi sang Datu Sasak yang Melukai 

Renovasi kantor senilai Rp40 miliar tersebut justru menghadirkan harga yang sangat murah untuk menenggelamkan simbol kebudayaan Sasak

Editor: Sirtupillaili
TRIBUNLOMBOK/SEPTIAN ADE
Salman Faris. Ia merupakan penulis novel "Tuan Guru" dan kini mengajar sebagai dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia. 

Oleh: Salman Faris
*Penulis novel "Tuan Guru" dan kini mengajar sebagai dosen UPSI Malaysia

Ketika mata saya menangkap sekilas bangunan baru kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat, kesan pertama yang muncul secara spontan dan kuat adalah Bali

Kesan ini merupakan impresi awal yang terbentuk melalui pengalaman visual yang telah saya miliki sebelumnya tentang bangsa Sasak

Sebuah respons langsung terhadap bentuk dan rupa yang saya lihat melalui luar pagar karena saya belum pernah masuk ke dalam. Dan inilah soal utama tulisan ini, yakni tentang kesan pertama. 

Sebab kesan pertama sangat menentukan dalam visual. Kesan pertamalah yang menentukan posisi politik dan simbolik sutau objek.

Meskipun mungkin tersedia narasi dan penjelasan mengenai simbol lokal yang disisipkan, impresi pertama tersebut tetap dominan dan tidak tergoyahkan. 

Dalam kerangka itu, saya menyadari bahwa renovasi kantor senilai Rp40 miliar tersebut justru menghadirkan harga yang sangat murah untuk menenggelamkan simbol kebudayaan Sasak yang selama ini membanggakan diri sebagai bangsa tertua dan paling beradab di kawasan timur Nusantara. 

Ironisnya, bangunan yang diklaim modern dan mewakili kemajuan ini justru tampak sebagai legasi sang datu Sasak yang kehilangan arah sejarah dan simbol kulturalnya.

Teori impresi dalam seni menandai suatu revolusi estetika yang lahir dari kegelisahan terhadap rigiditas seni akademik abad ke-19. Ia muncul bukan sebagai penolakan mutlak terhadap tradisi, melainkan sebagai pergeseran cara pandang terhadap realitas visual dan pengalaman manusia. 

Impresionisme, sebagai gerakan seni yang menjelma dari teori impresi ini, tidak mengutamakan representasi objektif, melainkan berusaha menangkap kesan sesaat (momentary impression) dari dunia yang terus bergerak. 

Cahaya, suasana, warna, dan waktu menjadi elemen penting dalam menstrukturkan karya seni yang tidak lagi dibebani oleh narasi besar, melainkan oleh persepsi inderawi sang seniman.

Secara simbolik, ornamen khas pura, hiasan jejeran pilar, simetri bentuk yang mengingatkan pada arsitektur kerajaan Hindu-Bali. Dalam satu tarikan napas, kantor pemerintahan tertinggi di tanah Sasak ini telah menjadi Bali secara visual. 

Dan dalam hal ini, sekali lagi impresi pertama adalah segalanya. Bangunan yang semestinya menjadi simbol identitas politik dan kultural masyarakat Sasak kini justru mencerminkan yang lain. 

Identitas kultural luar yang berkuasa atas kesadaran visual. Kantor Gubernur NTB telah menjadi sebuah situs kekuasaan impresi Bali.

Fenomena ini tidak bisa dianggap sebagai sekadar pilihan estetika atau strategi desain. Ia adalah ekspresi dari proses ahistoris dan apolitis dalam membangun simbol publik. 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved