Berita NTB

Diskusi AJI Mataram: Media Harus Adil pada Kasus Kekerasan Seksual dan Disabilitas

AJI Mataram gelar diskusi virtual untuk mendorong media memberikan ruang inklusif bagi korban pelecehan seksual dan disabilitas

Penulis: Rozi Anwar | Editor: Idham Khalid
tribunlampung.co.id/dodi kurniawan
Ilustrasi Pemerkosaan. 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Rozi Anwar

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram menggelar diskusi virtual dengan tema “perlindungan korban kekerasan seksual dan upaya mendorong perspektif jurnalisme inklusif saat disabilitas berhadapan dengan hukum” Rabu (4/12/2024).

Diskusi ini dalam rangka memperingati 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan (16HAKTP) dan Hari Disabilitas Internasional.

Menghadirkan narasumber ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) NTB, Joko Jumadi, Pengacara Publik sekaligus ketua Koalisi Stop Kekerasan Seksual NTB, Yan Mangandar, Pengacara Indra Pradipta dan Koordinator Divisi Perempuan, Anak dan Gender AJI Mataram, Susi Gustiana.

Dipandu Koordinator Divisi Advokasi AJI Mataram, Idham Khald sebagai moderator.

Diskusi virtual ini memantik semangat peserta untuk berdiskusi lebih mendalam perlindungan korban kekerasan seksual dan menanyakan lebih jauh terkait kode etik jurnalistik yang diamplipikasi media dengan viralnya kasus pria disabilitas di Mataram ditetapkan sebagai tersangka pelecehan seksual oleh Polda NTB.

Ketua AJI Mataram, Muhammad Kasim, dalam sambutannya menyampaikan bahwa dugaan kasus kekerasan seksual yang dilakukan pria disabilitas di Kota Mataram menyita perhatian publik.

Kasus ini disoroti media lokal maupun media nasional. Terlepas dari dugaan kekerasan seksual itu, ia menyesalkan media masih mendiskreditkan kelompok minoritas dengan diksi yang menyebut kekurangan anggota tubuh terduga pelaku.

Disebutkan, media semestinya memberikan ruang yang inklusif bagi kelompok minoritas baik kaum difabel, kelompok keyakinan beragama, kelompok orientasi seksual dan lain sebagainya.

Media selalu mencari judul sensasional dengan mengharapkan atau mengejar klik bait, page views dan google adsense. Padahal, dampaknya terjadi framing dan katalisator yang dapat menimbulkan ekskluskfitas bagi kelompok minoritas.

"Terlepas dari kasus ini, saya mengkritik judul di media yang masih bias terhadap kelompok minoritas," kata Cem akrab disapa.

Baca juga: Deretan Kasus Kekerasan Seksual di Lombok Sepekan, Pelaku Disabilitas hingga Ayah Kandung

Menurutnya, jurnalisme inklusif harus berdiri pada paradigma bahwa perbedaan dan keberagaman itu penting dan harus dirasakan sebagai fakta sosial yang baik.

Ia memahami jurnalisme inklusif sebagai tipe jurnalisme yang menantang hegemoni budaya yang menjadikan media secara sengaja atau tidak sengaja menyebarkan prasangka, intoleransi, dan kebencian.

Sebagai jurnalis lanjutnya, harus menjadi pendengar yang baik, rendah hati, inovatif, sadar diri, dan berani melawan status quo.

"Melawan status quo ini yang berat, karena kebiasaan di dapur redaksi sehingga jurnalis terkadang tidak memperhatikan hak-hak kelompok minoritas yang harus dilindungi," tegasnya.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved