Berita NTB

Diskusi AJI Mataram: Media Harus Adil pada Kasus Kekerasan Seksual dan Disabilitas

AJI Mataram gelar diskusi virtual untuk mendorong media memberikan ruang inklusif bagi korban pelecehan seksual dan disabilitas

Penulis: Rozi Anwar | Editor: Idham Khalid
tribunlampung.co.id/dodi kurniawan
Ilustrasi Pemerkosaan. 

Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) NTB Joko Jumadi mengatakan kasus kekerasan seksual sudah sangat meresahkan, ini seperti fenomena gunung es.

“Hanya satu kabupaten di NTB yang berani mengatakan darurat kekerasan seksual di daerahnya, yaitu Dompu,“ kata Joko.

Pada kasus yang melibatkan disabilitas sebagai pelaku, acap kali yang terjadi adalah manipulasi terhadap korban.

“Kekerasan seksual terjadi karena relasi kuasa yang timpang, misalnya pada kasus manipulasi psikologis yang dilakukan tersangka pria disabilitas kepada para korbannya,” kata Joko.

Untuk diksi yang digunakan dalam penyebutan kekerasan seksual, memang acap kali masih menjadi perdebatan, misalnya penggunaan kata pemerkosaan sesuai dengan KUHP.

Begitu pula dengan beragam jenis kekerasan seksual yang disebutkan di dalam undang-undang TPKS.

“Jurnalis juga harus membaca kembali beragam jenis kekerasan seksual yang ada di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” katanya.

Sejalan dengan itu, juga dalam pemberitaan yang ramah terhadap disabilitas juga masih banyak perdebatan diksi yang digunakan.

Apakah mengunakan disabilitas, difabel atau menyebutkan hal-hal yang menjurus ke arah keterbatasan fisik yang dimiliki.

“Kami berharap pemberitaan teman-teman media, lebih ramah terhadap disabilitas dalam artian tidak ada pelabelan maupun menormalisasi stigma,” harapnya.

Yan Mangandar menyoroti beberapa kasus yang melibatkan kelompok disabilitas baik sebagai korban, pelaku maupun saksi.

Ia menyebutkan, beragam tantangan yang dihadapi dalam pendampingan kasus kekerasan seksual, apalagi dengan korban disabilitas mental serta intelektual.

“Tantangan tidak hanya dari eksternal tapi juga internal dalam relasi keluarga korban kondisinya masih patriarki sehingga tabu saat anak mereka jadi korban kekerasan seksual,” ungkap Yan.

Dalam upaya advokasi kasus sambungnya, seringkali kekerasan seksual ini dipatahkan dengan alibi suka sama suka khususnya pada korban perempuan dewasa.

Namun berbeda ketika korban adalah anak dengan undang-undang perlindungan anak, tetap bisa menghukum apapun bentuk kejahatan seksual terhadap anak dengan beragam motif pelaku.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved