Berita NTB

Diskusi AJI Mataram: Media Harus Adil pada Kasus Kekerasan Seksual dan Disabilitas

AJI Mataram gelar diskusi virtual untuk mendorong media memberikan ruang inklusif bagi korban pelecehan seksual dan disabilitas

Penulis: Rozi Anwar | Editor: Idham Khalid
tribunlampung.co.id/dodi kurniawan
Ilustrasi Pemerkosaan. 

“Jika di undang-undang TPKS, harus ada konsen atau persetujuan dalam relasi romantis. Ketika tidak ada konsen, maka korban bisa melaporkan dugaan kekerasan seksual yang dialami,” kata Yan.

Koordinator Divisi Perempuan, Anak dan Gender AJI Mataram, Susi Gustiana menyampaikan sejumlah media massa melanggar kode etik dalam pemberitaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pria disabilitas di Mataram.

Media menggunakan diksi dan judul yang tidak ramah difabel serta sensasional.  

“Dalam pemberitaan kekerasan seksual, kita sebagai jurnalis memang harus skeptis, artinya siapa saja bisa jadi korban dan siapa saja bisa jadi pelaku," katanya.

Namun, ia menekankan bahwa media tidak boleh melakukan pelabelan dan menormalisasi stigma yang sudah disematkan masyarakat misalnya menyebut keterbatasan anggota tubuh pada kelompok disabilitas.

“Selain kode etik jurnalistik yang harus jadi acuan jurnalis, saat ini sudah ada pedoman pemberitaan ramah disabilitas yang diterbitkan Dewan Pers pada 2021,” sebut Susi.

Menurutnya, trauma yang dirasakan korban kekerasan seksual akan terus teringat seumur hidup.

“Korban menjadi korban berkali-kali karena terus dipersalahkan (victim blaming). Bayangkan beberapa korban pelecehan seksual fisik yang dilakukan pria disabilitas ini, terpaksa menutup akun medsos karena terpicu dengan trauma mendalam karena sikap netizen,” katanya.

Ia mengajak semua pihak untuk aktif memberikan edukasi dan menerapkan jurnalisme inklusif serta adil gender dalam rangka mengakhiri kekerasan terhadap perempuan serta memberikan ruang aman terhadap kelompok minoritas.

Jurnalis NTB Satu, Zulhaq mengakui viralnya kasus pria disabilitas ini karena ada dosa media.

“Awalnya kasus pria disabilitas ini disebut pemerkosaan, tetapi ada fakta baru dengan klarifikasi dari kepolisian bahwa tersangka lakukan pelecehan fisik,” katanya.

Diksi pemerkosaan itu sambungnya, banyak diamplifikasi oleh publik terutama netizen di media sosial untuk mengomentari kasus.

“Komentar netizen, bagaimana bisa seorang pria disabilitas melakukan pemerkosaan sontak menjadi viral,” ujarnya.

Ia mengatakan belum ada keseragaman diksi dalam memberitakan kasus kekerasan seksual karena di setiap redaksi berbeda kebijakannya.

Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) NTB, Linggauni menyampaikan, viralnya kasus pria disabilitas melakukan pelecehan seksual terhadap korban karena narasi pembelaan yang muncul dari tersangka.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved