Kerusakan Lingkungan Hidup dan Kewenangan Penghitungan Kerugian Negara

Yang perlu menjadi perhatian adalah konsistensi dalam penegakan hukum, khususnya perkara lingkungan hidup

ISTIMEWA
Lawyer di Jakarta International Law Office Mardani Wijaya. 

Oleh: Mardani Wijaya 
Lawyer di Jakarta International Law Office

Beberapa waktu lalu, kita dihebohkan oleh pemberitaan media terkait dengan pengungkapan kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT. Timah Tbk periode tahun 2015-2022. 

Dalam kasus tersebut, jumlah kerugian negara diperkirakan mencapai 300 Triliun rupiah,  menurut Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), perkiraan angka kerugian berasal dari 3 komponen penghitungan, yaitu: 
1.    Harga sewa smelter yang terlalu mahal oleh PT. Timah Tbk sebesar 2,85 Triliun;
2.    Pembayaran bijih timah ilegal oleh PT. Timah Tbk sebesar 26,649 Triliun;
3.    Kerugian negara karena kerusakan lingkungan sebesar 271,06 Triliun.

Komponen penghitungan kerugian negara karena kerusakan lingkungan dalam kasus tersebut dilakukan oleh ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo, kerugian lingkungan dalam kasus dugaan korupsi tersebut hingga Rp271.069.688.018.700.  

Penghitungan kerugian negara oleh ahli imbas dari dugaan korupsi tersebut merujuk pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran Dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup (PerMen LH 7/2014).  

Penghitungan kerugian lingkungan oleh ahli yang merujuk pada PerMen LH 7/2014 tersebut tentu menimbulkan pertanyaan mengenai konsistensi penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi dan kerusakan lingkungan hidup. 

Secara prinsip, melalui hak menguasai negara atas sumber daya alam Indonesia sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadikan negara sebagai wali alam yang mengemban amanah publik (public trust) untuk memastikan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.  

Namun, di samping itu juga permasalahan penting yang perlu menjadi perhatian adalah konsistensi dalam penegakan hukum, khususnya perkara lingkungan hidup. 

Dalam penegakan hukum perkara lingkungan hidup, terdapat ketidakpastian hukum mengenai instansi yang memiliki kewenangan untuk menyatakan ada tidaknya kerugian negara dan penghitungan kerugian negara

Dalam hal penghitungan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, penghitungan kerugian negara tersebut dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagaimana ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK).

Namun dalam hal penghitungan kerugian lingkungan hidup dilakukan oleh ahli yang ditunjuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) PerMen LH 7/2014.

Kerusakan lingkungan hidup adalah hasil dari berbagai aktivitas yang merusak atau mengganggu keseimbangan ekosistem, sumber daya alam, dan kualitas lingkungan. Dalam definisi normatif, Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup (UU 32/2009). 

Dampak negatif dari kerusakan lingkungan hidup tentu akan mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Pasal 90 ayat (1) UU 32/2009 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kerugian lingkungan hidup adalah kerugian yang timbul akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang bukan merupakan hak milik privat. 

Pasal 8 PerMen LH 7/2014 secara tegas menyatakan bahwa kerugian lingkungan hidup merupakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang wajib disetor ke Kas Negara. 

Kerugian lingkungan hidup yang dianggap sebagai penerimaan negara tentu dapat dipersamakan dengan kerugian negara. 

Jika merujuk pada ketentuan Pasal 10 UU BPK dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, maka penghitungan kerugian lingkungan hidup haruslah dilakukan oleh instansi yang memiliki kewenangan untuk menyatakan atau men-declare adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara. 

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai instansi yang memiliki kewenangan konstitusional untuk menyatakan ada tidaknya kerugian negara semestinya secara konsisten juga dapat melaksanakan kewenangannya untuk melakukan penghitungan kerugian lingkungan hidup. 

Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum yang berkeadilan, penegakan hukum, khususnya dalam perkara lingkungan hidup haruslah dilakukan dengan mekanisme sebagaimana penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi jika ingin tetap konsisten dalam penerapan hukum yang berlaku. 

Penghitungan kerugian lingkungan hidup sudah seharusnya dilakukan oleh instansi yang memang memiliki kewenangan penuh untuk melakukan penghitungan kerugian negara, regulasi yang memberikan kewenangan kepada KLHK untuk menunjuk ahli yang melakukan penghitungan kerugian lingkungan hidup haruslah dilakukan evaluasi dalam pelaksanaannya agar tidak menimbulkan potensi sengketa kewenangan antar lembaga di kemudian hari.

Tidak hanya itu, potensi kesalahan dalam penghitungan kerugian lingkungan hidup bisa saja terjadi apabila dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kompetensi/keilmuan dibidang penghitungan kerugian lingkungan hidup namun akan menganggap diri sudah benar dalam melakukan penghitungan karena merasa telah ditunjuk oleh KLHK berdasarkan ketentuan Pasal 4 PerMen LH 7/2014. 

Jika terjadi hal demikian, sudah barang tentu akan merugikan pihak-pihak yang “dipaksa” menerima penghitungan kerugian lingkungan hidup oleh orang yang tidak kompeten dalam melakukan valuasi ekonomi sumber daya alam.

Konsistensi dalam penerapan hukum menjadi sangat penting dilakukan untuk menghasilkan kepastian hukum yang berkeadilan. 

Penghitungan kerugian lingkungan hidup yang akan dijadikan sebagai penerimaan negara untuk disetor ke kas negara harus pula dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memang sudah diberikan kewenangan oleh aturan yang lebih tinggi dari PerMen LH 7/2014 yaitu UU BPK sebagai wujud dari konsep negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved