Mandatory Spending Dihapus, Dikes NTB: Jumlah Anggaran Kesehatan Sebenarnya Masih Kurang

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB dr Lalu Hamzi Fikri mengatakan, persentase anggaran kesehatan sebelumnya masih kurang sehingga dibutuhkan tambahan

Penulis: Robby Firmansyah | Editor: Sirtupillaili
TribunLombok.com/Sirtupillaili
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB dr Lalu Hamzi Fikri 

Laporan wartawan TribunLombok.com, Robby Firmansyah

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Undang-Undang Kesehatan yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tua pro dan kontra di tengah masyarakat.

Salah satu pasal dalam UU tersebut yang banyak disorot yakni menyangkut mandatory spending atau batas minimal belaja dihapus.

Sebelumnya batas minimal belanja dalam Undang-undang diatur sebanyak lima persen dari APBN dan 10 persen dari APBD.

Menanggapi persoalan tersebut, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB dr Lalu Hamzi Fikri mengatakan, persentase anggaran kesehatan sebelumnya masih kurang sehingga dibutuhkan tambahan.

Menurut Hamzi seharusnya anggaran kesehatan tersebut ditambah, karena infrastruktur di beberapa wilayah Indonesia masih kurang.

Baca juga: Dukung Transformasi Bidang Kesehatan, Spesialis Bedah Saraf Gelar Pertemuan Ilmiah Tahunan di NTB

Namun, karena mandatory spending itu dihapus, dengan berat hati harus menyesuaikan dengan anggaran yang ada.

"Karena sebenarnya anggaran kesehatan dengan jumlah lima persen tadi kita masih butuh tambahan. Sekarang kita harus menyesuaikan karena persentase tersebut sudah tidak ada," kata dr Lalu Hamzi Fikri, Jumat (14/7/2023).

Penghapusan mandatory spending dinilai tidak efektif dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Lalu Hamzi Fikri berharap kedepannya akan tetap mendapat dana kesehatan, khususnya di NTB.

Sampai saat ini masih banyak permasalahan kesehatan di NTB yang membutuhkan perhatian serius.

Dengan bantuan dana tersebut nantinya, akan dapat membantu persoalan kesehatan di NTB.

Sementara itu, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) NTB dr Rohadi menyayangkan penghapusan mandatory spending oleh DPR dan pemerintah.

Menurutnya, pemerataan fasilitas kesehatan setiap daerah akan sulit tercapai.

"Sebenarnya dengan adanya mandatoris pending itu membuat kita lebih seragam di Indonesia," jelas Rohadi.

Bahkan dikatakan dr Rohadi, maldistribusi tenaga kesehatan di Indonesia masih terjadi.

Menurutnya jumlah tenaga kesehatan di barat lebih banyak dari pada yang di timur.

Selain itu insentif tenaga kesehatan di barat lebih baik dari pada yang di timur.

Inilah yang menurut Rohadi sebenarnya perlu diperhatikan, agar pemerataan kesehatan di Indonesia bisa tercapai.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved