Opini

Revisi Undang-undang TNI dan Trauma Orde Baru

Cerita pemerintahan Orde Baru sudah lama terkubur seiring reformasi Indonesia 1998. Tapi hari ini militer kembali ikut campur urusan sipil.

Editor: Sirtupillaili
Dok.Istimewa
Amir Mahmud, Pegiat Sosial dan Kemanusiaan Jerowaru. 

Oleh: Amir Mahmud
*Pegiat Sosial dan Kemanusiaan Jerowaru. 

Penghujung Ramadan tahun ini terasa begitu mumet. Seharusnya pada momen puasa ini masyarakat disibukkan dengan aktivitas ibadah. Aktivitas yang akan membawa kita pada pembersihan diri dari segala noda dan dosa sejarah masa lalu. Sejarah buruk yang pernah kita lakukan namun belum sempat kita mintakan ampun, baik kapada tuhan maupun sesama manusia. 

Namun serangkaian peristiwa politik di negeri ini mengganggu kekhusyukan ibadah. Peristiwa yang memaksa rakyat dan kelompok intelektual turun ke jalan menentang kebijakan pemerintah. Rakyat harus melakukan "tadarus gerakan" untuk menyerukan penolakan terhadap revisi UU TNI

Demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil digelar di berbagai daerah. Mereka berkumpul membentuk barisan perlawanan. Mereka tidak setuju revisi dilakukan. Mereka menginginkan militer profesional. Jauh dari agenda politik. Militer cukup mengurusi barak dan pertahanan. Urusan politik, ekonomi, dan budaya biar menjadi urusan institusi sipil.

Begitu kerasnya penolakan masyarakat terharap revisi UU TNI ini mencerminkan warga masih trauma dengan sejarah kelam pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Kini revisi UU TNI kembali menghidupkan dwifungsi TNI.

Cerita pemerintahan Orde Baru sudah lama terkubur seiring reformasi Indonesia tahun 1998. Namun hari ini militer kembali terlibat menjadi aktor politik mengelola negara.

Khawatiran masyarakat terhadap revisi UU TNI bukan soal berapa pasal yang diubah, tetapi soal kembalinya anggota TNI aktif mengurus urusan sipil melalui institusi formal negara. 

Semangat penolakan ini bukan benci pada TNI. Tapi publik ingin menjaga profesionalisme TNI sebagai penjaga pertahanan negara. Penguatan peran pertahanan dan keamanan sangat penting di tengah arus politik dan keamanan global. Silahkan revisi (UU TNI) tetapi cukup pada sektor militer.

Indonesia sudah sejak lama keluar dari praktik negara totaliter. Pengusulan, pembahasan dan penetapan sebuah produk legislasi sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan secara terbuka. Tidak perlu membahas undang-undang secara diam-diam. Secara eksklusif, di tempat mewah. Berikan akses seluas-luasnya kepada publik untuk berpartisipasi mengelola negara ini melalui mekanisme yang sudah diatur konstitusi. Bukan sebaliknya, menebar ketakutan, membatasi partisipasi, mengabaikan suara kritis rakyat.

Hannah Arendt dalam tulisannya menyampaikan bagaimana totalitarianisme itu bekerja, bahwa dengan menanamkan ketakutan, bukan hanya pada mereka yang melawan, tetapi juga pada mereka yang menonton. Apa yang terjadi sekarang ini: mungkinkah sebuah fenomena kembalinya rezim tatoliter? Hanya waktu dan rezim yang berkuasa yang tahu.

Masyarakat tidak alergi dengan perubahan. Tidak alergi dengan revisi tetapi jangan lakukan sendiri dan tertutup. Rakyat juga butuh memahami spirit, kepentingan negara melakukan revisi. Ada ruang masyarakat sipil untuk melakukan pengawasan dan penilaian agar dapat memberikan masukan kepada negara agar makna demokrasi itu terasa sampai akar rumput. 

Kesan negara dikelola eksklusif oleh elit politik dan kekuasaan menjadi sangat terasa ketika beberapa produk Undang-undang dibuat. Negara seolah-olah tidak menganggap ada elemen masyarakat sipil.

Buat apa bernegara jika keberadaan elemen masyarakat sipil dinegasikan. Negara seolah hanya milik segelintir elite di Republik ini. 

Sejarah reformasi telah menunjukkan bagaimana gerakan sipil sociaty berjuang mengeluarkan meliter dari arus politik praktis dengan berdarah-darah. Lalu di era yang sudah sangat terbuka dan supremasi sipil ditegakkan, meliter kembali ingin menacapkan kukunya untuk mencengkram negara. 

Lalu apa motif kepentingan elit politik dan kekuasaan di balik revisi UU TNI itu? Kenapa UU TNI begitu prioritas untuk direvisi padahal bukan bagian dari RUU prolegnas. Masyarakat butuh penjelasan terbuka dan terang atas agenda revisi UU TNI tersebut. 

Berikan kepastian dan ketegasan pada publik. Bahwa agenda revisi UU TNI bukan agenda elite politik dan kekuasaan dalam rangka membawa kembali Indonesia ke dalam praktik dwifungsi ABRI yang pernah terjadi di masa lalu. Masa orde baru dengan versi yang paling baru.

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved