Opini
Masnun Tahir: Antara UIN Mataram dan NU NTB
Kegemilangan diuji dengan sejauh mana Masnun dapat membangun NU ala Lombok, atau lebih luas lagi NU ala Indonesia timur.
Oleh: Salman Faris
TRIBUNLOMBOK.CM, MATARAM - Salah seorang dari generasi saya yang dapat dikatakan istimewa adalah Masnun Tahir. Tidak hanya wujud di medan intelektual, sosial dan keagamaan. Bukan hanya sebatas Lombok (baca NTB), juga melangkaui Indonesia dengan menjadi ketua intistusi akademik di level nasional.
Tentu saja, yang paling mentereng adalah menempati dua ruang yang sangat strategis, yakni sebagai rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram dan sebagai ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) NTB.
Posisi ini menempatkan Masnun pada simpul sejarah yang secara yakin saya tegaskan bahwa tidak banyak generasi saya mencapai tujuan tersebut.
Bagaimana tidak? Dua posisi tersebut, ditambah modal budaya yang lain, saya dengan keyakinan kuat dapat mengatakan bahwa Masnun merupakan salah seorang dari beberapa orang saja yang paling kuat di NTB saat ini.
Kekuatan struktural dengan memegang rektor UIN Mataram dan mengetuai berbagai institusi akademik level nasional.
Ditambah kekuatan kultural sebagai ketua PWNU NTB. Ini adalah dua arus besar yang menjadi modal utama kekuatan. Bahkan dengan dorongan sedikit saja, sangat berpotensi menjadi modal kekuasaan politik yang lebih luas.
Hal tersebut menguatkan argumen saya tentang Masnun sebagai orang yang sangat sedikit menjadi istimewa dalam generasi saya. Karena itu, agar modal tidak laksana pisau bermata dua, kedua modal utama tersebut tidak boleh mengguris sang empunya. Dalam konteks ini, Masnun dihadapkan pada tanggung jawab sejarah bagi zamannnya.
Sebelum sampai ke level tersebut, sejauh yang saya tahu sepanjang bersama dalam proses, ada tiga hal mendasar yang menandai personalitas Masnun, yaitu ilmu, adab, dan amal.
Ketiga elemen tersebut membentuk fondasi yang membuatnya layak untuk berada di posisi sekarang. Sebagai individu, ia telah memenuhi syarat. Namun apakah capaian tersebut mudah? Secara sederhana, orang dapat mengatakan bahwa dengan tiga modal tersebut, Masnun bisa dengan mudah mencapai aras tinggi. Akan tetapi, sekali lagi, tidak semudah mata memandang, tidak secantik hati menilai.
Jika di UIN Mataram, Masnun tidak berhasil membangun sistem keberlanjutan, baik kecemerlangan UIN yang telah dicapai sejauh ini dan juga sistem regenerasi pemimpin handal, pemimpin UIN yang jauh lebih tangguh dibandingkan Masnun sendiri, maka keemasan tersebut hanya menghiasi zaman pada masa jabatan di tangan. Setelah itu, Masnun akan sama saja dengan yang lain, hanya disebut mantan Rektor UIN Mataram.
Karena itu, bukan kecmerlangan yang seharusnya dibangun Masnun, tetapi sistem kecemerlangan itu sendiri. Sistem yang membuat semua warga UIN Mataram berpikir, berkeyakinan, dan bertindak bahwa UIN Mataram jauh lebih besar dibandingkan siapa pun orang yang berada di dalamnya.
Kalau dalam pendekatan yang lebih luas, Masnun harus membangun peradaban UIN. Agar siapa pun yang memimpin setelah itu, dapat konsisten di aras keunggulan. Begitu juga dalam era apa pun, UIN berjalan, berkembang dan terus di puncak dalam peradaban UIN itu sendiri. Dengan kata lain, dosa besar sejarah bagi Masnun jika hanya besar untuk diri, yakni diri seorang Masnun.
Peradaban UIN yang saya maksud bukan sekadar deretan prestasi akademik atau peringkat kampus dalam skala nasional maupun internasional. Bukan setakat mencapai akreditasi unggul atau akreditasi internasional. Sebab semua institusi sangat berpeluang mencapai level tersebut. Ini saya sebut natural era.
Jika sudah berganti, maka bergantilah mengikut kemesetian. Karena itu, perdaban UIN yang saya maksudkan adalah suatu tata nilai, tradisi intelektual, etika kepemimpinan, norma keilmuan, politik kampus, altar adab, dan kultur akademis inventor-inovator yang secara sistemik mampu membuat siapa pun pemimpin UIN Mataram, dalam kondisi apa pun, tetap menjaga keberlanjutan kejayaan yang telah dicapai.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.