Opini

Satu Abad NU dalam Perspektif Pembelajar

Nahdlatul Ulama (NU) tumbuh cemerlang hingga usia satu abad. Lantas apa yang membuat NU dapat berkembang dalam kedigdayaan kemajuan seperti sekarang?

Editor: Sirtupillaili
Dok.Istimewa
Salman Faris 

Oleh: Salman Faris

Saya tidak dapat membayangkan, NU akan tumbuh dan berkembang secemerlang saat ini jika pendiri NU bersikukuh yang, NU harus dibesarkan oleh para keturunan lalu murid hanya dijadikan pengikut untuk selamanya, tanpa diberikan peluang yang sama seluas siapa saja yang berada di bawah payung NU. Lantas apa yang membuat NU dapat berkembang dalam kedigdayaan kemajuan seperti sekarang ini?

Tentu amat banyak faktor. Akan tetapi, hanya beberapa yang sesuai dengan konteks tulisan ini yang perlu disinggung. Ada budaya berbagi sama rata podo roso sekaligus pengakuan dan penghargaan peran besar untuk masing-masing tokoh bahkan bukan tokoh utama dalam NU. Meskipun catatan sejarah tidak dapat ditampik yang, Hadratussyekh KH Hasyim Asyari (Mbah Hasyim) merupakan ulama kunci pendirian NU, akan tetapi proses dan cikal bakal jiwa pendirian NU tidak diketepikan.

Peran KH Abdul Wahab Chasbullah (Mbah Wahab), misalnya, tertulis dengan jelas dan teratur dalam literatur NU. Penghormatan, pengakuan, dan penghargaan yang sama pun diberikan kepada kedua tokoh kunci tersebut. Begitu juga kepada tokoh pendiri NU yang lain, seperti KH Bisri Syansuri, KH Mas Alwi bin Abdul Aziz, KH A. Dachlan Achjad, KH Ridwan Abdullah dan yang lain.

Bahkan peran Syaikhona Muhammad Kholil (Mbah Kholil) bangkalan sebagai perestu pendirian NU, tidak terhapus dalam literatur dan ingatan semua jamaah NU. Nampak Jelas, ada tokoh utama dalam pendirian NU, namun ada tokoh penting lainnya yang dicatatkan juga berperan besar. Dan setiap peran berkedudukan dalam pengargaan dan penghormatan setara. Tak ada Kiai yang merasa paling memiliki dan merasa paling berhak terhadap NU.

Budaya tersebut di atas, telah mengakar dan membentuk satu sistem kultural sekaligus struktural. Pada tataran kultural, semua jamaah NU memberikan penghormatan dan tempat khusus kepada Mbah Hasyim dan keturunannya sekaligus dipersembahkan kepada tokoh yang lain dalam kadar yang sama.

Hal yang serupa terjadi di tataran struktural, di mana tidak berlaku faham yang wajib mengarusutamakan keturunan pendiri NU sebagai PBNU. Tegasnya, tidak mesti keturunan Mbah Hasyim menjadi pemimpin seperti halnya keturunan tokoh pendiri yang lain. Semua tokoh terbaik mempunyai peluang yang sama untuk menjadi pemimpin tertinggi NU tanpa mempersoalkan keturunan sebagai darah biru NU atau pun bukan.

Jika pun keturunan pendiri NU dicalonkan menjadi pimpinan, mestilah melalui mekanisme dan proses yang sudah ditentukan organisasi. Tidak ada karpet merah digelar berlandaskan doktrin dengarkan dan taati. Petik sebagai contoh ialah terpilihnya Gus Dur sebagai PBNU tahun 1984 pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo. Meskipun keturunan langsung Mbah Hasyim, Gus Dur melangkah amat tidak mudah.

Pergesekan terjadi antara kelompok yang pro Gus Dur dengan PBNU petahana pada masa itu yakni KH Idham Chalid. Pertindihan pandangan yang tak kalah sengit terjadi juga pada Muktamar ke-28 pada tahun 1989 di Yogyakarta. Kali ini, malah Kiai As’ad yang semula pendukung utama Gus Dur memilih laluan berseberangan.

Tak dapat dielakkan, jalan berliku Gus Dur pun semakin memanjang, meski jamaah NU sangat menghormatinya sebagai keturunan Mbah Hasyim. Bahkan untuk kepimpinannya dalam periode ketiga, dapat dikatakan sebagai salah satu puncak terjalnya kemenangan Gus Dur. Muktamar ke-29 NU di Tasikmalaya pada tahun 1994 merupakan situasi tergenting keturunan Mbah Hasyim menjadi PBNU. Gus Dur harus bersusah payah melalui dua putaran meskipun akhirnya menang.

Situasi ini menegaskan yang hak memimpin NU ialah sama untuk mereka yang berkelayakan. Dan mestilah melalui proses yang sama pula. Tidak ada hak istimewa. Tidak ada pula yang sejak umur belia sudah dilantik secara simbolik sebagai pemimpin. Tak ada juga istilah pewarisan kekiaian sebagaimana layaknya pewarisan tahta kerajaan yang bergelar Kiai I, Kiai II , Kiai III dan seterusnya.

NU tidak dijadikan sebagai pusat kuasa oleh mereka yang berdarah biru dan jamaah NU yang lain juga tidak dididik untuk membudayakan diri menjadi kawula yang hanya mempunyai hak mendengar dan menaati. Jamaah yang kriris tidak diancam kehilangan barokah Kiai. Tidak juga didekalarasikan secara terbuka sebagai penghianat NU.

Keturunan dan nasab keilmuwan menjadi sangat penting dalam proses kekiaian, namun hal tersebut tidak menghalangi peluang jamaah (bukan garis biru) yang alim dan berakhlaq mulia menjadi Kiai panutan. Kuasa Kiai yang begitu besar tidak membunuh rasionalitas jamaah. Itulah yang menyebabkan wacana kritis di kalangan NU berkembang subur.

Jelas betapa, jamaah NU sangat terdepan dalam menjalankan organisasi melalui sistem yang betul. Karpet merah Kiai dan keturunannya digelar pada tempat yang sesuai, dan dalam masa yang sama, demi memajukan NU sebagai organisasi, semua tokoh yang layak memimpin NU, diberikan permadani yang setara.

Inilah budaya NU yang telah membentuk NU menjadi lautan berkah sekaligus kematangan struktural. Karpet merah untuk siapa saja di antara mereka yang terbaik memimpin NU tanpa memandang keturunan pendiri atau bukan.

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved