Opini

Sultan Muhammad Salahuddin Bima XIV: Cahaya dari Dana Mbojo

Sultan Muhammad Salahuddin Bima XIV (1915–1951), seorang raja alim, pemimpin bijak, dan penjaga martabat rakyat

TRIBUNLOMBOK.COM/FIKRI
Dr. H. Ahsanul Khalik. 

(Catatan atas Ikhtiar Panjang dan Kesetiaan Sejarah Pengusulan Sebagai Calon Pahlawan Nasional)

Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik 

Di tanah Bima yang dikelilingi barisan bukit dan hembusan angin dari Laut Flores, di mana do'a rakyat naik bersama aroma tanah kering yang setia menunggu hujan, lahirlah seorang pemimpin yang kelak menyalakan lentera peradaban di masa paling gelap penjajahan.

Dialah Sultan Muhammad Salahuddin Bima XIV (1915–1951), seorang raja alim, pemimpin bijak, dan penjaga martabat rakyat, yang hidup di antara masa kolonial dan awal kemerdekaan Indonesia.

Sultan Salahuddin bukan sekedar penguasa istana. Ia adalah ulama, negarawan, dan bapak rakyat yang menjadikan iman dan ilmu sebagai dasar kepemimpinan. Di bawah bimbingannya, Kesultanan Bima tumbuh menjadi simbol peradaban Islam di Timur Nusantara, tempat di mana ilmu, budaya, dan kebangsaan tumbuh dalam harmoni.

Ketika naik takhta pada tahun 1915, dunia sedang bergolak. Kekuasaan kolonial Belanda mencengkeram kuat seluruh Hindia Timur, namun benih kebangkitan mulai tumbuh di berbagai penjuru.

Bima berada di persimpangan: antara mempertahankan adat dan menahan tekanan kolonial. Dalam situasi itulah Sultan Salahuddin memilih jalan tengah yang penuh hikmah, berdiplomasi tanpa tunduk, bersahabat tanpa menyerah.

Baca juga: Gubernur Iqbal Terharu Sultan Bima Terima Gelar Pahlawan Nasional

Arsip kolonial mencatatnya sebagai pemimpin “bersahabat namun berdaulat.” Ia menolak menjadikan Kesultanan Bima alat kepentingan Belanda, dan menegaskan bahwa hukum Islam serta adat Dana Mbojo harus dihormati.

Dalam diam, ia membangun perlawanan kultural dan spiritual: membuka sekolah rakyat seperti Hollandsch Inlandsche School (HIS), mendirikan madrasah, dan menghidupkan pengajaran Islam.
Sultan sendiri dikenal sering mengajarkan Ta’limul Muta’allim dan Ihya’ Ulumuddin di istana kepada bangsawan muda, menanamkan adab, akhlak, dan tanggung jawab kepemimpinan.

Baginya, pemimpin tidak ditakuti karena kekuasaan, tetapi dihormati karena ilmu dan kasih.

Tahun 1942, pendudukan Jepang mengguncang Nusantara. Banyak penguasa lokal menyerah pada kekuasaan baru itu, namun Sultan Salahuddin tetap menempatkan rakyat sebagai pusat kebijakan. Ia menolak praktik kerja paksa dan diam-diam melindungi pemuda dari kekejaman penjajah.

Ketika Proklamasi Kemerdekaan berkumandang pada 17 Agustus 1945, Sultan Salahuddin menjadi salah satu pemimpin di Indonesia Timur yang menyatakan dukungan penuh kepada Republik Indonesia.

Ia menolak bujukan Belanda untuk bergabung dalam Negara Indonesia Timur (NIT) dan menegaskan bahwa Bima adalah bagian sah dari Republik Indonesia.

Dalam pidato terakhirnya tahun 1951, ia menegaskan makna sejati kekuasaan dengan kata-kata yang abadi:

“Kekuasaan sejati bukan untuk menaklukkan, melainkan untuk melindungi. Barang siapa menindas rakyatnya, maka hilanglah kemuliaannya sebagai pemimpin.”

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Homo Lombokensis: Arah Baru Lombok

 

Irnadi Itulah Solusi

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved