Opini

Berdiskusi Maya Bareng Usman-Acip di Lorong Gelap Politik Indonesia

Usman dan Acip telah ditetapkan sebagai tersangka adalah fakta. Namun kebenaran Usman dan Acip manusia baik tidak akan sirna.

Editor: Sirtupillaili
TRIBUNLOMBOK.COM
Salman Faris merupakan dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan pengarang novel "Tuan Guru". 

Meski tampak sederhana, perbedaan ini sesungguhnya menentukan cara kita membaca sejarah, menilai media, memahami politik, bahkan membentuk pandangan kita tentang diri sendiri dan masyarakat.

Baca juga: Islam dan Tradisi Marker of Identity Orang Sasak yang Terbuka pada Suku Bangsa Lain

Fakta adalah apa yang terjadi, sementara kebenaran adalah bagaimana kita memaknai apa yang terjadi. Fakta bersifat keras, stabil, dan tidak peduli pada pendapat kita. Fakta tidak berubah walaupun kita membencinya, meragukannya, atau mengabaikannya. Dalam tradisi positivisme Auguste Comte, fakta dianggap sebagai dasar ilmu pengetahuan. Sesuatu yang boleh diuji oleh pancaindera atau instrumen sains. 

Bertrand Russell menegaskan bahwa fakta berdiri independen dari kepercayaan manusia. Karl Popper kemudian menambahkan bahawa fakta saintifik justeru harus dapat dipertanyakan dan diuji untuk melihat apakah bisa disangkal. Dengan kata lain, fakta itu objektif. Atau setidaknya berusaha menjadi objektif. Fakta tidak menunggu izin kita untuk tetap ada.

Namun, manusia tidak hidup hanya dengan fakta. Kita hidup dengan makna. Di sinilah kebenaran masuk. Kebenaran bukan sekadar sesuatu yang sesuai kenyataan, tetapi sesuatu yang kita tafsirkan menurut sudut pandang tertentu. 

Aristoteles menyatakan bahawa sebuah pernyataan benar ketika sesuai dengan apa yang terjadi. Sebuah pengertian yang tampak mudah, namun sebenarnya sangat bergantung pada bagaimana kita mendefinisikan kenyataan itu sendiri. 

Kant kemudian mengingatkan bahwa pemikiran kita tidak pernah melihat dunia secara polos. Dunia selalu diproses melalui kategori-kategori dalam pikiran. Artinya, apa yang kita sebut benar tidak pernah sepenuhnya bebas dari cara pikiran kita bekerja. 

Heidegger lebih jauh menyatakan bahwa kebenaran bukanlah sekadar kecocokan antara pernyataan dan realitas, tetapi proses tersingkapnya makna di hadapan manusia. Kebenaran adalah pengalaman yang membuat sesuatu menjadi jelas, terbuka, dan dapat dipahami.

Michel Foucault memberikan kritik yang jauh lebih radikal. Bagi masyarakat mana pun, kebenaran bukan sekadar sesuatu yang ditemukan, melainkan sesuatu yang dihasilkan oleh kuasa. 

Hal ini menunjukkan bagaimana sekolah, negara, agama, universitas, dan media membentuk apa yang boleh disebut sebagai benar. Dalam pandangan Foucault, kebenaran tidak pernah netral. Selalu berada dalam jaringan kepentingan dan peraturan yang menentukan siapa yang boleh berbicara dan apa yang dianggap sah. 

Inilah sebabnya mengapa suatu narasi sejarah bisa berlangsung ratusan tahun meskipun tidak sepenuhnya sesuai dengan fakta kerana didukung oleh institusi yang memproduksinya sebagai kebenaran.

Sebagai contoh yang dekat adalah penaklukan Karangasem ke atas Lombok adalah fakta sejarah. Itu terjadi, tercatat, dan didukung oleh bukti. Tetapi apakah penaklukan itu dianggap 1) peradaban, 2) penindasan, atau 3) asimilasi budaya, itu bukan lagi fakta. Hal tersebut adalah kebenaran yang diproduksi oleh wacana. 

Seorang sejarawan kolonial mungkin melihatnya sebagai perluasan budaya. Seorang nasionalis melihatnya sebagai bentuk dominasi. Seorang antropolog mungkin melihatnya sebagai momen penting pembentukan identitas hibrid. Fakta sama, tetapi kebenarannya berubah.

Itulah sebabnya mengapa kita sering salah faham. Kita mengira apa yang kita sebut kebenaran adalah fakta. Padahal itu adalah interpretasi. Interpretasi bisa bijak, bisa jujur, bisa sangat berasaskan data. Tetapi, sekali lagi hal tersebut tetaplah interpretasi. Kebenaran selalu membutuhkan bahasa, konsep, dan sejarah yang menopangnya. Fakta tidak memerlukan semua itu.

Tetapi kebenaran bukan berarti bohong. Bukan juga rekaan. Kebenaran adalah usaha manusia memahami dunia dengan cara yang membuat dunia itu bermakna. Bahkan sains, yang selalu berusaha dekat dengan fakta, tidak bebas dari kebenaran yang dibentuk oleh teori dan kerangka pemikiran. Data yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda oleh teori yang berbeda. Fakta adalah titik awal. Kebenaran adalah bangunan pemahaman yang kita dirikan di atas titik itu.

Adorno mengingatkan bahawa kebenaran tidak pernah lengkap. Selalu bergerak, berubah, dan berbenturan dengan pengetahuan baru. Kebenaran adalah proses kritik terus-menerus terhadap dunia dan terhadap diri kita sendiri. Justeru kerana tidak pernah tuntas, kebenaran membuat kita terus belajar, membaca, dan berdebat.

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved