Opini

Islam dan Tradisi 'Marker of Identity' Orang Sasak yang Terbuka pada Suku Bangsa Lain

Islam menjadi marker of identity-nya orang Sasak, namun bauran tradisi Jawa-Majapahit dan adat-istiadat lokal membentuk budaya, pranata sosial Sasak.

Editor: Sirtupillaili
TribunLombok.com/Sirtupillaili
Amaq Lokak Senaru (baju putih) memimpin doa secara Islam dalam ritual ngasuh gunung di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Senin (22/2/2021). 

Oleh: Abuya Amar

Ketika sebagian Bangsawan Sasak bermain mata dengan penjajah Belanda, Tuan Guru mengambil alih kepemimpinan rakyat, bergeser ke bagian timur pulau lombok, dan menjadi semacama panacea kegetiran berabad-abad di bawah kekuasaan Kerajaan Karangasem dan Penjajahan Belanda.

Lihat John Kloc, "Historic Hidrologic Landscape Modification and Human Adaptation in Central Lombok Indonesian from 1894 to the present" Geo 522 (march, 2008): 10, Jeremy Kingsley, "Tuan Guru, Community, and Conflict in Lombok Indonesia" (Disertasi, Melbourne Law School, The University of Melbourne, 2010), 95.

Islam memang telah menjadi marker of identity-nya orang Sasak, yang menginternalisasi nilai dan cara pandang orang Sasak di bawah bimbingan para tuan guru.

Namun di sisi lain, bauran tradisi Jawa-Majapahit, Hindu-Bali dan adat-istiadat lokal membentuk budaya, pranata sosial, bahasa, dan ekspresi kesenian khas Sasak.

Nampak keduanya ada dalam hubungan yang belum sepenuhnya menyatu tetapi menjadi unsur-unsur yang bergejolak-kelindan dalam diri orang Sasak. Jadi masyarakat Sasak sesungguhnya adalah masyarakat yang dibentuk oleh dua unsur utama; Islam dan tradisi.

Jelas memang nampak kontradiktif pada kenyataannya; jumlah masjid dan haji terus bertambah secara dramatis tetapi pada akhir pekan akan sangat mudah kita temukan pula prosesi adat nyongkolan menutupi jalan-jalan secara dramatis pula.

Artinya bahwa, meskipun Islam diyakini sebagai identitas mayoritas orang Sasak, tetapi preferensi primordial yang lebih lokal juga tetap eksis seperti Islam "Wetu Telu" dan riwayat afiliasi kerajaan di masa lalu, bahkan tetap meneruskan cerita fragmentasi Sasak tempo dahulu.

Hal ini bagaikan setali tiga uang, imajinasi politik orang Sasak tidak pernah tunggal, sehingga sulit diwakili kelompok, apalagi tokoh tertentu, termasuk pula oleh tokoh-tokoh yang boleh jadi mengatasnamakan Majelis Adat ataupun tokoh lainnya pada level yang lebih tinggi dari yurisdiksi Pulau Lombok atau NTB. (lihat http://lombokpost.net/2017/01/20/anomali-mudjitahid-dan-sesudah-tgb/)

Demikianlah sesungguhnya fakta sosial yang berlaku sehari-hari, bahwa orang Sasak adalah masyarakat yang menganut harmoni, tidak menyukai konflik, mudah menerima orang lain (multiculturalist), tidak ambisius (political sense), tidak suka dikhianati (bahkan oleh suku bangsa sendiri) dan sangat patuh terhadap otoritas (sosial, politik, keagamaan) yang riil berkuasa.

Jadi jangan heran kalau isu identitas Sasak dipakai dalam mengejar atau mendapatkan kekuasaan pada pemilihan pemimpin seperti Pilkada (apakah gubernur, bupati ataupun wali kota), maka itu tidak akan pernah laku, karena sejarah orang Sasak sangat jelas sebagai masyarakat yang terbuka dengan suku bangsa atau orang lain, selama itu membawa harmoni dan kebermanfaatan dalam kehidupan sosial.

Itulah sebabnya Sasak dalam sistem konstitusi pemerintahan tidak mengenal kerajaan akan tetapi yang ada adalah sistem kedatuan yang menempatkan masyarakat Sasak sebagai masyarakat yang terbuka, demokratis, dan mengacu pada merit system yang lebih mendasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, yang diberlakukan secara adil dan wajar tanpa diskriminasi.

Hal ini juga sejalan dengan sistem kebangsawanan Sasak yang pada aslinya bersifat terbuka bagi orang yang dihormati karena ilmu dan karyanya, bukan diwariskan secara turun-temurun dari bapak ke anaknya dan seterusnya.

Wallahu'alam Bishawab.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved