Opini
Dana Reses DPR Antara Aspirasi dan Keuntungan Pribadi
Kenaikan anggaran reses ini seharusnya dibarengi dengan aksi nyata dan keterbukaan yang sebanding kepada publik.
Oleh: Rheza Firda Yana
*Mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram
Oktober lalu, publik kembali dibuat geram dengan rencana kenaikan anggaran reses Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Angka yang diajukan—melonjak dari Rp400 juta menjadi Rp702 juta per anggota—terasa sangat janggal di tengah situasi ekonomi mayoritas rakyat yang belum stabil.
Dana reses, yang secara filosofis seharusnya menjadi instrumen moral wakil rakyat untuk menjemput dan menyalurkan aspirasi dari daerah pemilihan, kini telah berubah fungsi menjadi simbol kesejahteraan baru dalam politik anggaran. Alih-alih mencerminkan pengabdian, kenaikan masif ini justru menciptakan jurang kepercayaan antara elite politik dan masyarakat yang mereka wakili.
Baca juga: 3 Anggota DPR Terbukti Langgar Kode Etik: Ini Sanksi Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, dan Eko Patrio
Transparansi sebagai Fondasi Etika
Dalam sistem politik yang sehat, nilai kejujuran, akuntabilitas, dan transparansi adalah fondasi yang tak terpisahkan. Dana reses menjadi batu uji nyata bagi para wakil rakyat untuk menjunjung nilai-nilai tersebut.
Apabila anggaran reses lebih banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak berdampak atau bahkan diselewengkan, maka politik kehilangan fondasi etiknya. Ia berubah menjadi arena manipulasi, di mana kepentingan publik hanya dijadikan dalih demi keuntungan dan fasilitas pribadi.
Rakyat sejatinya tidak akan keberatan dengan kenaikan anggaran, asalkan diimbangi dengan kinerja yang terukur dan, yang lebih penting, keterbukaan. Namun, kenyataannya pelaporan terkait penggunaan anggaran ini hampir tidak pernah dipublikasikan secara utuh.
Publik tidak mengetahui secara rinci program apa yang dibicarakan, aspirasi apa yang diperjuangkan, dan dampak nyata apa yang dihasilkan dari penggunaan ratusan juta rupiah per anggota tersebut.
Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan menegaskan bahwa sampai saat ini, publik tidak pernah mengetahui secara pasti berapa besar dana reses yang diterima setiap anggota DPR maupun bagaimana mekanisme penggunaannya. Padahal, dalam kerangka good governance, setiap kebijakan anggaran publik harus tunduk pada tiga prinsip dasar: transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi.
Kontras di Tengah Kebutuhan Mendesak
Kenaikan anggaran reses ini seharusnya dibarengi dengan aksi nyata dan keterbukaan yang sebanding kepada publik. Sayangnya, dampak positifnya bagi masyarakat terasa minim. Sebagai bukti, masih banyak warga di berbagai daerah yang kesulitan mendapatkan perhatian atas masalah mendasar.
Ambil contoh keluhan warga Desa Serimulya, Aceh Timur, terkait akses jalan yang rusak parah. Keluhan serupa juga disuarakan oleh warga Desa Loji dan Desa Kertajaya di Kabupaten Sukabumi. Kerusakan jalan ini bukan sekadar ketidaknyamanan, melainkan hambatan serius yang menghambat akses warga setempat ke sekolah dan puskesmas.
Ketika wakil rakyat menetapkan anggaran fantastis sebesar Rp702 juta untuk kegiatan yang tidak jelas pelaporannya, sementara persoalan infrastruktur dasar—seperti jalan yang menghubungkan warga dengan layanan kesehatan dan pendidikan—terabaikan, prioritas negara patut dipertanyakan.
Pada titik ini, muncul pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh DPR: Apakah kenaikan anggaran ini sungguh untuk kesejahteraan rakyat yang memilih, ataukah semata-mata untuk menyejahterakan kehidupan pribadi wakil rakyat?
Anggaran dana reses DPR seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan mendesak rakyat, mendengarkan keluhan mereka, dan memberikan solusi nyata, bukan diperlakukan sebagai dana insentif untuk memperkaya diri. DPR harus mengembalikan fungsi reses pada koridor moral dan etika politik, dimulai dari transparansi total atas setiap rupiah yang digunakan.
| Dari Dana Mbojo ke Karet Bivak: Jejak Kesetiaan Sultan Muhammad Salahuddin pada Republik Indonesia |
|
|---|
| Gus Dur dan Kepahlawanan Kemanusiaan di Tengah Keberagaman |
|
|---|
| Sultan Muhammad Salahuddin Bima XIV: Cahaya dari Dana Mbojo |
|
|---|
| Taman Budaya NTB yang Malang dan Terbelakang |
|
|---|
| IPM NTB Tumbuh di Atas Rata-Rata Nasional: Saatnya Berhenti Menertawai Diri, Mari Menguatkan Ikhtiar |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/lombok/foto/bank/originals/Ilustrasi-korupsi-dpr.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.