Berita Lombok Timur

PDIP Tolak Raperda tentang Pinjaman Rp290 Miliar Pemda Lombok Timur untuk Kegiatan Tahun Jamak

Anggota DPRD PDI Perjuangan di DPRD Lombok Timur, Ahmad Amrullah mengungkap tidak ada kegentingan yang memaksa untuk menggunakan skema tahun jamak

Penulis: Toni Hermawan | Editor: Wahyu Widiyantoro
Istimewa
TOLAK RAPERDA - Anggota DPRD PDI Perjuangan di DPRD Lombok Timur, Ahmad Amrullah (kiri) dan Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Lombok Timur Ahmad Sukro. Amrullah mengungkap tidak ada kegentingan yang memaksa untuk menggunakan skema tahun jamak. 

TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TIMUR - PDI Perjuangan (PDIP) menyatakan menolak Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pelaksanaan Sub Kegiatan tahun Jamak untuk pembangunan jalan dan gedung wanita oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur

Penolakan itu disampaikan dalam rapat paripurna dengan agenda penyampaian Pandangan Umum (PU) Fraksi Demokrasi Bintang Perjuangan Indonesia DPRD Lombok Timur pada Selasa (15/7/2025).

Anggaran pembangunan jalan dan gedung wanita itu akan bersumber dari pinjaman senilai Rp290 miliar.

Anggota DPRD PDI Perjuangan di DPRD Lombok Timur, Ahmad Amrullah mengungkap tidak ada kegentingan yang memaksa untuk menggunakan skema tahun jamak.

Hal itu mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan PMK No.93/PMK.02/2020 merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.02/2018 tentang persetujuan kontrak tahun jamak oleh menteri keuangan.

Baca juga: Komisi IV DPRD Lombok Timur Soroti Bantuan Rp 25 Miliar untuk UMKM: Sekolah dan Jalan Masih Rusak

Amrullah juga menilai, Raperda tersebut secara formil. Setelah pihaknya mencermati secara mendalam, raperda tersebut masih mengandung beberapa persoalan substansial. 

Di antaranya, pertama, belum melalui proses konsultasi publik yang memadai. Kedua, berpotensi menimbulkan persoalan sosial karena terhambatnya pembayaran akan berpengaruh terhadap pembayaran pekerja. 

Mereka berpandangan, belum ada urgensi (kemendesakan) bagi Pemkab Lombok Timur untuk menggarap rencana (proyek) tersebut.

"Jika APBD dan target PAD kita mencukupi untuk pembiayaan kegiatan prioritas maka tidak perlu dilakukan kegiatan tahun jamak (multy years) dengan berhutang," paparnya. 

Hutang yang pihaknya maksud adalah hutang tersembunyi atau Off Balance Sheet Debt yakni potensi kewajiban membayar yang tidak tercatat secara resmi dalam neraca keuangan daerah. Namun, tetap menjadi tanggungan yang wajib dibayarkan di tahun berikutnya. 

"Jika ini diteruskan, maka dikhawatirkan akan menimbulkan pelanggaran administratif yang akan berdampak pada masalah hukum," jelasnya.

Selain itu, PDI Perjuangan berpandangan, kontrak tahun jamak hanya menghadirkan pengusaha berskala besar dan mempersempit peran pengusaha-pengusaha lokal.

Selanjutnya, kebijakan pembangunan tahun jamak akan berdampak pada alokasi anggaran, tidak ada lagi ruang untuk menggeser anggaran ke pembangunan lain yang lebih bermanfaat ditahun berikutnya. 

Pihaknya mengaku tidak bisa menyetujui Raperda yang dimaksud karena belum mengetahui secara detail teknis pelaksanaan, lokasi dan alokasi anggaran masing-masing pembangunan jalan dan gedung wanita. 

"Pada prinsipnya, kami sangat mendukung program percepatan pembangunan di Kabupaten Lombok Timur. Namun setelah menimbang, memerhatikan dan mencermati Raperda tersebut maka kami fraksi PDI Perjuangan menolak Raperda Tentang Sub Kegiatan Tahun Jamak untuk dibahas lebih lanjut menjadi Perda," tegas Amrullah.

Pimpinan DPRD Lombok Timur melalui Sekwan menyatakan tidak melibatkan dua orang anggota DPRD PDI Perjuangan untuk terlibat lebih jauh dalam pembahasan Raperda tersebut. Diketahui, pembahasan Raperda tersebut akan dibahas gabungan Komisi III dan Komisi IV DPRD Lombok Timur

Namun, dua orang anggota fraksi PDI Perjuangan yakni Nirmala Rahayu Luk Santi, ST., MM (Komisi III) dan Ahmad Amrullah, ST., MT (Komisi IV), tidak dilibatkan dalam pembahasan Raperda tersebut.

Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Lombok Timur Ahmad Sukro, SH., M.kn., mengaku geram atas sikap tersebut. 

Menurut Sukro, sikap tersebut merupakan penghilangan hak anggota DPRD yang tidak melanggar hukum, tetapi juga membahayakan prinsip-prinsip demokrasi dan stabilitas negara (daerah). 

"Tidak ada kewenangan siapapun untuk tidak melibatkan anggota fraksi yang menolak Raperda untuk ikut dalam pembahasan Raperda lebih lanjut," ujar Sukro.

Sukro menjelaskan, sikap fraksi PDI Perjuangan yang menolak Raperda secara substansi tidak menghapus hak fraksi untuk tetap dilibatkan dalam rapat pembahasan.

Keterlibatan anggota fraksi (sekalipun menolak) adalah bentuk tanggung jawab konstitusional. Pelarangan anggota fraksi untuk ikut dalam pembahasan Raperda lantaran perbedaan pendapat (menolak) adalah tidakan yang tidak demokratis dan bertengangan dengan prinsip kerja DPRD.

"Ini pelanggaran terhadap asas musyawarah dan keterlibatan (partisipasi) politik yang sehat," ujarnya.

Jika hak anggota DPRD dihilangkan secara sewenang-wenang, hal ini dapat dianggap melanggar asas kepastian hukum dan asas-asas demokrasi. 

Pembahasan Raperda yang dilakukan tanpa melibatkan anggota DPRD yang seharusnya memiliki hak dalam proses tersebut dapat dianggap cacat hukum.

Sukro menggarisbawahi, tidak ada dasar hukum yang sah untuk mengecualikan anggota fraksi yang menolak Raperda dari pembahasan lebih lanjut. 

"Penolakan fraksi terhadap Raperda adalah hak politik yang dijamin oleh hukum. Sementara keterlibatan tetap wajib dan penting. Baik untuk mengoreksi substansi, memperbaiki norma, atau mencatat keberatan resmi dalam risalah rapat. Kami akan bersikap serius atas perlakuan ini," pungkas Sukro.

(*)

 

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved