WALHI NTB Peringatkan Risiko Kerusakan Ekologis pada IPR di Sumbawa
Legitimasi tambang ilegal menjadi pertambangan rakayat bisa menjadi legitimasi atas eksploitasi yang sudah berlangsung secara ilegal.
Penulis: Rozi Anwar | Editor: Idham Khalid
TRIIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Baru-baru ini Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memberikan izin Pertambangan Rakyat (IPR) di Sumbawa yang dikelola oleh koperasi lokal.
Penyerahan dilakukan secara simbolis oleh Gubernur NTB, Dr. H. Lalu Muhammad Iqbal, pada Sabtu (12/7/2025), didampingi Kapolda NTB Irjen Pol. Hadi Gunawan dan sejumlah pejabat tinggi lainnya.
Meski langkah ini disebut-sebut sebagai tonggak baru dalam upaya menghadirkan tambang rakyat yang legal, bersih, dan berpihak kepada masyarakat. Namun, aktivis lingkungan jutru mengkritik keras izin tersebut.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTB, Amri Nuryadin, menyampaikan kritik keras atas proses penerbitan IPR yang dinilai terburu-buru dan dinilai kurang pada kajian lingkungan yang memadai.
Menurutnya, alih-alih menyelesaikan persoalan, legalisasi ini justru bisa menjadi legitimasi atas eksploitasi yang sudah berlangsung secara ilegal selama bertahun-tahun.
“Memunculkan izin terlebih dahulu di wilayah pertambangan yang secara ilegal telah berjalan, kami nilai menunjukkan bahwa pemerintah sangat menggampangkan masalah ekologi,” tegas Amri.
Amri menekankan bahwa sebelum menerbitkan izin, seharusnya ada proses pemulihan (recovery) terhadap wilayah yang telah mengalami kerusakan akibat tambang ilegal. Ia juga mengkritik lemahnya penegakan hukum selama ini, yang dinilai turut memperparah kerusakan lingkungan.
“Aparat penegak hukum seharusnya melakukan tindakan hukum terhadap wilayah tambang yang tidak ada izin. Ini mempertontonkan kepada kita, tiba-tiba ada izin tanpa, tanpa memperhatikan kronologi kejadian,” ujarnya.
Baca juga: Banjir Terjang Kota Mataram, WALHI NTB Soroti Kerusakan Tata Ruang dan Krisis Ekologis
WALHI NTB mendesak pemerintah agar tidak sekadar fokus pada aspek legalitas administratif, tetapi juga memperhitungkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat setempat.
"Jangan hanya melihat cuannya aja, tapi lihat juga resiko ke depannya," kata Amri.
Ia menilai, tata kelola tambang di NTB buruk. Meski menjadi penyumbang sumber pendapatan asli daerah (PAD), namun NTB masih menjadi daerah yang miskin.
"Kalau melihat NTB, tambang dan pariwisata menjadi sumber penyumbang PAD tertinggi, tapi kenapa masih miskin, artinya tata kelola tambang kita tidak baik," kata Amri.
Amri mencontohkan, tambang pasir di Lombok Timur PT AMG, ketika terjadi ekspetasi namun perusahaan tidak melakukan reklamasi, sehingga membuat lahan pertanian masyarakat kena imbasnya.
"Di mana pemerintah, di mana perusahaan? Apakah ada yang bertanggungjawab. Hasil investigasi WALHI 25 kumbangan di tempat itu tidak ada yang direklamasi," kata Amri.
Di sisi lain, para pemangku kepentingan menilai pemberian IPR ini sebagai solusi konkret untuk keluar dari lingkaran praktik tambang ilegal yang telah berlangsung lebih dari satu dekade di NTB.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.