Breaking News

Alih Fungsi Lahan Bekas Bandara Rambang di Lombok Timur Jadi Sorotan

Status lahan Rambang berada di bawah kewenangan Kementerian Pertahanan/TNI AU.

hjadesta.kemenparekraf.go.id
BANDARA RAMBANG - Arsip foto Bandara Rambang di Lombok Timur. Status lahan Rambang berada di bawah kewenangan Kementerian Pertahanan/TNI AU. 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Ahmad Wawan Sugandika

TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TIMUR - Ketua Barisan Pemuda Nusantara (KBPN) Lombok Timur, Saparwadi menyoroti upaya alih fungsi lahan oleh pemerintah pusat terhadap Pantai Rambak.

Pantai Rambak yang juga merupakan aset sejarah di Kabupaten Lombok Timur ini dulunya pernah menjadi bandara.

Bandara Rambang menjadi penghubung penting dalam lalu lintas udara antara Lombok, Bali, dan wilayah timur Indonesia. 

Dalam berbagai dokumen sejarah dan arsip foto, tampak jelas bahwa bandara ini digunakan untuk kepentingan penerbangan militer dan logistik di masa penjajahan dan kemerdekaan awal.

Status lahan Rambang berada di bawah kewenangan Kementerian Pertahanan/TNI AU. 

“Mengalihfungsikan Bandara Rambang tanpa kajian pertahanan yang komprehensif berpotensi melemahkan posisi strategis NTB dalam skema logistik dan mobilisasi darurat,” ucap Pria yang akrab disapa Wadik ini, Minggu (15/6/2025). 

Baca juga: Sejarah Pantai Rambang, Pernah Jadi Bandara Terbesar di NTB, Kini Hilang Imbas Alih Fungsi Lahan

Meskipun NTB telah memiliki Bandara Internasional Zainuddin Abdul Majid (BIZAM), namun dalam skenario perang atau bencana, satu titik bandara besar belum cukup. 

Lahan Bandara seperti Rambang dapat berfungsi sebagai alternate airbase, airdrop zone, atau bahkan pusat pengungsian udara.

“Alasan demi ketahanan pangan sebagai pijakan melakukan alih fungsi Bandara Rambang menjadi lahan tambak udang  akan menjadi dilema ketahanan pangan versus Ketahanan Sejarah,” katanya.

Wadik, sapaan karibnya, mengungkap pemerintah menilai bahwa lahan tak produktif harus dioptimalkan untuk menghasilkan nilai ekonomi, termasuk mendukung budidaya udang di Lombok Timur

Namun menurutnya amun di sinilah persoalannya, hal ini dikarenakan ketahanan pangan seharusnya tidak bertentangan dengan ketahanan sejarah dan kultural. 

“Kita tidak boleh melupakan bahwa pembangunan sejati adalah pembangunan yang menghargai masa lalu, tidak hanya mengejar keuntungan jangka pendek. Bila kita kehilangan warisan sejarah demi komoditas, maka kita sedang menjual ingatan kolektif kita sendiri,” tegasnya.

“Kita tak bisa memungkiri pentingnya ketahanan pangan. Terlebih Lombok Timur memang dikenal sebagai lumbung udang nasional. Tapi di situ lah letak dilemanya, haruskah ketahanan pangan dibayar dengan menghapus jejak sejarah? Bukankah keduanya bisa dijalankan secara paralel dan berimbang,” tanyanya.

Narasi pembangunan menurutnya, hanya berorientasi pada hasil langsung dan produktivitas lahan, maka warisan sejarah menjadi korban pertama. 

Negara akan kehilangan bukan hanya situs fisik, tapi juga identitas kolektif, memori publik, dan kebanggaan lokal. 

“Apa jadinya jika anak cucu kita kelak hanya mengenal Rambang sebagai tambak udang biasa, bukan sebagai tempat di mana Lombok pertama kali menyapa langit,” sebut aktivis asal Lombok Timur ini. 

5 Dampak Alih Fungsi

Ada lima dampak alih fungsi lahan Rambang menurut Wadik. 

Antara lain pertama, hilangnya memori kolektif lokal, di mana anak-anak generasi baru di Lombok Timur tidak akan pernah tahu bahwa daerah mereka pernah menjadi pusat transportasi udara utama sehingga nilai edukasi dan kebanggaan lokal perlahan terkikis.

Kedua, hilangnya potensi wisata sejarah dan edukasi.

Di tengah tren wisata sejarah dan museum hidup, Bandara Rambang seharusnya bisa dikembangkan sebagai destinasi sejarah penerbangan.

 Alih fungsi ke tambak udang tentu menutup potensi ekonomi alternatif ini.

Ketiga, adanya ancaman terhadap kedaulatan Pertahanan Nasional, jika sewaktu-waktu Indonesia memerlukan bandara alternatif untuk operasi militer atau darurat, maka kehilangan Bandara Rambang akan menjadi kerugian strategis yang tidak bisa digantikan dengan mudah.

Keempat, kerusakan ekosistem pesisir dan air tanah.

Industri tambak udang intensif dikenal memiliki dampak buruk terhadap kualitas air tanah, ekosistem laut, dan daya dukung lingkungan, khususnya jika dilakukan tanpa regulasi ketat.

Kelima, melahirkan ketimpangan tata ruang dan aset negara, karena ketika aset strategis negara dialihkan ke sektor privat tanpa partisipasi publik yang kuat, maka ini dapat menjadi celah bagi praktik korporatisasi ruang dan melemahnya kontrol negara atas tanah penting.

Direktur Sunrise Land Lombok (SLL) menyebutkan, pihak terkait dalam hal ini TNI - AU atau pun Kementerian Pertahanan selaku pihak yang menguasai lahan Bandara Rambang bersama Pemerintah Daerah harus mencari Jalan Tengah, melakukan revitalisasi Bandara Rambang tanpa menghapus identitas. 

“Pemerintah daerah, bersama Kementerian Pertahanan dan pelaku usaha, harus duduk bersama membuat peta jalan pemanfaatan Rambang yang menghormati sejarah, menjaga aspek pertahanan, dan tetap mendukung produktifitas ekonomi, seyogianya lah semua pihak terkait mengambil posisi bijak dengan melestarikan nilai sejarah tanpa menghambat pembangunan.

Dia menawarkan Bandara Rambang direvitalisasi sebagai museum udara, lapangan latihan darurat, atau destinasi sejarah edukatif adalah pilihan yang tak hanya menjaga identitas, tetapi juga membuka peluang ekonomi berbasis pariwisata sejarah.

“Di sini lah letak kecerdasan perencanaan ruang yang sebenarnya, tidak membunuh masa lalu demi masa depan, tapi menjahit keduanya dalam satu kanvas besar bernama keberlanjutan. Kita tidak boleh abai dengan alasan ketahanan pangan lalu membiarkan Warisan Bangsa Menjadi Korban Komoditas, bukan kah Bandara Rambang adalah jendela masa lalu yang membawa pelajaran penting bagi masa depan,” ungkapnya.

Alih fungsi lahan sambungnya, memang sah sebagai bagian dari pembangunan, namun bukan berarti semua bisa dijustifikasi atas nama efisiensi atau ketahanan pangan. 

Sejarah adalah akar yang menjaga bangsa tetap berpijak, dan kehilangan satu tapak sejarah sama dengan memotong satu akar penting dari pohon identitas kita.

“Jika kita tidak bertindak hari ini, maka generasi berikutnya hanya akan mengenal Bandara Rambang dari lembaran arsip, bukan dari tapak nyata. Dan ketika itu terjadi, kita bukan hanya kehilangan tempat, tetapi kehilangan jati diri,” pungkasnya.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved