Opini

Sasak Kini Tidak Asli, Dekonstruksi Klaim Keaslian Kaum Elit   

Klaim keaslian ini justru mendorong pembelahan sosial yang tajam antara yang asli dan tidak asli, yang kemudian berdampak kepada dualisme budaya.

Editor: Sirtupillaili
Dok.Diskominfotik NTB
Salman Faris merupakan dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan pengarang novel "Tuan Guru". 

Ini seperti yang dijelaskan oleh Eric Hobsbawm tentang invention of tradition, di mana banyak tradisi yang dianggap tua dan asli, ternyata baru dibakukan pada abad ke-19 dan 20 untuk kepentingan politik identitas. 

Sasak pun tidak luput dari proses ini. Banyak bentuk tradisi yang sekarang dianggap otentik sebenarnya adalah hasil pembakuan kolonial atau proyek pariwisata modern. 

Maka, pertanyaan seharusnya bukanlah siapa Sasak yang asli? Tetapi siapa yang diuntungkan dari klaim keaslian itu?

Klaim keaslian juga menciptakan garis batas yang palsu antara komunitas-komunitas di tengah masyarakat Sasak. Misalnya, masyarakat Bayan dianggap lebih asli daripada masyarakat kota. Mereka dijadikan simbol purifikasi budaya Sasak. Padahal kehidupan sosial di Bayan pun telah mengalami transformasi modernisasi, migrasi, dan dialog budaya. 

Ketika keaslian dipaksakan sebagai patokan, maka kita mengabaikan kenyataan bahwa identitas selalu berubah dan bersifat relasional. Sasak bukan satu, bukan murni, dan tidak akan pernah final.

Maka, sikap saya adalah tegas bahwa dekonstruksi atas klaim keaslian bukan berarti menolak warisan budaya atau membenci tradisi. Sebaliknya, ini adalah upaya menyelamatkan tradisi dari pembekuan. 

Ketika kita membiarkan satu tafsir dominan mengontrol makna Sasak, maka kita sedang membunuh vitalitas budaya itu sendiri. 

Sasak seharusnya dirayakan sebagai ruang kemungkinan, bukan ditutup sebagai kebenaran tunggal. Sasak adalah medan tafsir, bukan naskah suci. 

Ia harus dibaca, ditafsirkan ulang, digugat, dan diciptakan kembali sesuai dengan konteks zaman. Hanya dengan demikian, kita bisa berbicara tentang Sasak sebagai masa depan, bukan sekadar peninggalan masa lalu.

Sasak kini tidak asli bukan karena ia kehilangan akar, tetapi karena akarnya sendiri telah bercabang dan menjalar ke berbagai arah. Dalam cabang-cabang itulah kita menemukan kehidupan dan keberagaman. 

Masa depan Sasak tidak terletak pada pengembalian ke masa lalu yang dibekukan, tetapi pada kemampuan kita untuk terus mencipta dan merayakan identitas dalam keragaman. 

Dekonstruksi terhadap klaim keaslian bukanlah bentuk pengingkaran, melainkan afirmasi atas hak setiap orang Sasak untuk menafsirkan, menulis, dan menghidupi Sasak sesuai dengan realitas zaman. 

Tidak boleh ada dominasi pengetahuan tentang Sasak. Semua lapisan masyarakat Sasak berhak atas kemerdekaan dalam merayakan identitasnya yang dinamis, plural, dan relevan.

Malaysia, 8 Mei 2025

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved