Opini
Sasak Kini Tidak Asli, Dekonstruksi Klaim Keaslian Kaum Elit
Klaim keaslian ini justru mendorong pembelahan sosial yang tajam antara yang asli dan tidak asli, yang kemudian berdampak kepada dualisme budaya.
Sasak hari ini adalah hasil dari ruang in-between itu. Maksudnya bukan Hindu, bukan Islam sepenuhnya. Bukan Bali, bukan Jawa, bukan Bugis, bukan tradisi murni, bukan pula modernitas total.
Ia adalah bentuk hibrida yang memiliki potensi kritis justru karena tidak tunduk pada keutuhan tunggal. Namun elit budaya sering menolak hibriditas ini karena dianggap mengaburkan batas-batas identitas.
Padahal di sinilah kekuatan identitas Sasak yakni dalam kemampuannya bertransformasi, bukan dalam klaim keasliannya.
Klaim keaslian elit Sasak juga merupakan bentuk hegemoni yang tidak bekerja melalui pemaksaan fisik, tetapi melalui normalisasi nilai dan pemaknaan.
Mereka yang menguasai wacana kebudayaan menentukan apa yang sah dan tidak sah sebagai representasi Sasak. Mereka menjadikan institusi budaya seperti lembaga adat, lembaga budaya, lembah kesenian, bahkan kampus dan birokrasi sebagai alat produksi makna.
Melalui festival budaya, buku ajar, dan even pariwisata, mereka menyebarkan formasi-formasi budaya tertentu yang sesuai klaim mereka sebagai representasi tunggal.
Ini bukan saja membatasi kebebasan ekspresi, tetapi juga menindas bentuk-bentuk lokalitas lain di Lombok yang tidak sesuai dengan narasi besar mereka.
Akibat langsung dari dominasi wacana keaslian ini adalah kerusakan epistemik dalam pewarisan pengetahuan Sasak. Anak muda yang mencoba mengeksplorasi Sasak melalui jalur seni kontemporer, kajian kritis, atau aktivisme sosial dianggap tidak sah.
Inisiatif-inisiatif budaya alternatif seperti komunitas seni jalanan, diskusi sejarah alternatif, atau penulisan ulang narasi lokal yang tidak sesuai dengan versi elit dianggap membahayakan identitas.
Ini adalah bentuk penindasan kultural yang halus. Pewarisan pengetahuan menjadi seragam, dikontrol oleh otoritas-otoritas budaya yang mengklaim legitimasi berdasarkan usia, garis keturunan, atau kedekatan politik.
Padahal seharusnya pengetahuan tentang Sasak bersifat terbuka, dialogis, dan mampu beradaptasi dengan zaman.
Kegagalan memahami sejarah Sasak secara genealogis juga menyebabkan ilusi tentang kemurnian yang sebenarnya tidak pernah ada. Mereka yang mengklaim Sasak asli sering lupa bahwa pada abad ke-17, Lombok mengalami migrasi tidak hanya dari Bali dan Jawa, tetapi juga Bugis, Melayu yang turut membentuk sistem sosial, sistem budaya, sistem politik, upacara keagamaan, seni dan arsitektur.
Bahkan dalam konteks Islam, Sasak telah bertransformasi secara modernis, dan kini memasuki fase identitas Islam global. Semua ini menunjukkan bahwa Sasak tidak pernah statis.
Ia adalah ruang sejarah yang cair dan terus berubah. Ini membuktika bahwa Sasak asli itu tidak dapat dilacak secara pasti dan tidak boleh diklaim secara sepihak.
Ketika kita membaca ulang sejarah Sasak dengan pendekatan yang lebih kritis, maka kita akan memahami bahwa klaim keaslian lebih merupakan proyek ideologis daripada kenyataan historis.
Tantangan Utama Gubernur Iqbal dari Bangsa Sasak Sendiri |
![]() |
---|
Masnun Tahir: Antara UIN Mataram dan NU NTB |
![]() |
---|
Merawat Kebersamaan Tanpa Unjuk Rasa, MotoGP Wajah Indonesia dari NTB untuk Dunia |
![]() |
---|
Hultah NWDI: Warisan Spiritualitas dan Kebersamaan |
![]() |
---|
Refleksi Pelantikan PW NU NTB: Mengikat Ukhuwah, Menata Masa Depan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.