Opini

Sasak Kini Tidak Asli, Dekonstruksi Klaim Keaslian Kaum Elit   

Klaim keaslian ini justru mendorong pembelahan sosial yang tajam antara yang asli dan tidak asli, yang kemudian berdampak kepada dualisme budaya.

Editor: Sirtupillaili
Dok.Diskominfotik NTB
Salman Faris merupakan dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan pengarang novel "Tuan Guru". 

Namun, mereka menutup mata terhadap fakta bahwa banyak dari bentuk budaya ini merupakan hasil interaksi silang dengan kuasa luar. Sudah pasti nyongkolan dan tata busananya dipengaruhi gaya kolonial. 

Bahkan bisa jadi peresean yang diklaim sebagai Sasak asli itu juga berkembang dalam arena sosial di bawah pengaruh struktur militeristik kolonial. 

Termasuk juga sistem kebangsawanan yang dipertahankan dalam struktur budaya lokal adalah warisan kolonial yang menginstitusionalisasi kelas sosial. Pengetahuan-pengetahuan ini kerap diabaikan dalam narasi tentang Sasak asli.

Lebih parah lagi, klaim keaslian ini justru mendorong pembelahan sosial yang tajam antara yang asli dan yang tidak asli, yang kemudian berdampak kepada dualisme budaya yakni adiluhung dan profan. 

Budaya Sasak yang diklaim adiluhung tersebut, selain dikalim paling asli juga dikontruksi sebagai representasi elit Sasak

Sedangkan budaya profan selalu dihukum sebagai Sasak rendah bahkan bukan Sasak (lihat kasus Ale-ale dengan Gendang Beleq). Maka muncullah kebiasaan penghakiman atas individu atau kelompok yang tidak mengadopsi praktik-praktik tradisi adiluhung tersebut sebagai tidak Sasak

Mereka yang mendekonstruksi adat budaya Sasak dalam bentuk yang lebih reflektif dan kontekstual dianggap menyimpang dari ajaran leluhur. 

Mereka yang mempertanyakan sistem sosial yang diskriminatif dalam adat dianggap mencederai nilai-nilai Sasak

Dalam logika ini, tradisi tidak lagi dipahami sebagai hasil sejarah dan ekspresi kolektif yang bisa dinegosiasikan, tetapi dijadikan doktrin yang absolut dan tertutup terhadap kritik. 

Ini menimbulkan ketegangan epistemik yang akut dalam tubuh masyarakat Sasak itu sendiri.

Padahal jika dibaca secara genealogis, identitas Sasak adalah hasil dari proses pembentukan diskursif yang panjang. Identitas bukanlah warisan tetap, tetapi hasil dari jaringan kekuasaan dan pengetahuan yang terus-menerus membentuk subjek. 

Dalam kasus Sasak, kita melihat bagaimana Majapahit memperkenalkan struktur administratif yang menyatu dalam sistem kelembagaan orang Sasak. Bali mengintervensi sistem kasta dan ritus adat, bahkan mendominasi struktur musik dan tari. 

Belanda menciptakan kategori etnografis yang membakukan Sasak sebagai unit administratif yang dapat dikelola. 

Setelah Indonesia merdeka, negara memproduksi identitas Sasak melalui pendidikan, museum, dan kurikulum kebudayaan. Maka, Sasak hari ini adalah hasil dari pelapisan diskursif yang tidak bisa dikembalikan pada satu titik kemurnian yang selalu dikalim asli.

Dalam pemikiran Homi Bhabha, kondisi ini disebut sebagai hibriditas. Budaya tidak pernah murni, karena selalu berada dalam ruang in-between, ruang antar di mana berbagai pengaruh bertemu dan saling mengubah satu sama lain. 

Halaman
1234
Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved