Opini
Sasak Kini Tidak Asli, Dekonstruksi Klaim Keaslian Kaum Elit
Klaim keaslian ini justru mendorong pembelahan sosial yang tajam antara yang asli dan tidak asli, yang kemudian berdampak kepada dualisme budaya.
Oleh: Salman Faris
Meningkatnya klaim tentang keaslian Sasak telah menimbulkan kegelisahan epistemologis yang serius dalam tubuh masyarakat Sasak itu sendiri.
Klaim-klaim ini tidak sekadar menyatakan sebuah kebanggaan etnik, melainkan telah menjelma menjadi alat pembenaran untuk menilai, mengecam, dan bahkan menyingkirkan pemikiran atau ekspresi budaya yang dianggap menyimpang dari definisi Sasak asli versi elit tertentu.
Mereka yang berusaha menawarkan pandangan alternatif tentang sejarah, budaya, atau cara hidup Sasak kerap dituduh mencemari kemurnian identitas.
Ini bukan sekadar persoalan budaya, melainkan gejala politik identitas yang bekerja melalui dominasi pengetahuan dan pengaburan sejarah.
Ironisnya, mereka yang mengklaim sebagai pewaris Sasak asli pun seringkali tidak memiliki pemahaman sejarah yang genealogis dan komprehensif.
Mereka nampak memungut fragmen-fragmen yang terputus dari konteks sejarah panjang Lombok, dan mengemasnya sebagai warisan otentik, yang kemudian dijadikan alat legitimasi dan jastifikasi atas sikap penghukuman sosial kepada Sasak yang lain.
Sasak, sebagai entitas kultural dan sosial, tidak pernah hadir sebagai bentuk tunggal yang tetap.
Ia adalah hasil dari pergulatan zaman, tarikan kekuasaan, dan pertemuan berbagai peradaban.
Sejak sebelum letusan gunung Samalas pada abad ke-13 yang menghancurkan sebagian besar tatanan kehidupan awal Lombok, masyarakat Sasak awal (yang sebenarnya sampai sekarang belum ada bukti apakah mereka sudah bernama bangsa Sasak pada masa itu) telah mengalami pembentukan berlapis-lapis.
Pasca bencana besar itu, Lombok menjadi wilayah terbuka bagi masuknya berbagai kuasa eksternal seperti Majapahit, Karangasem, Bugis, Arab, Cina, VOC atau Hindia Belanda, Jepang hingga akhirnya masuk ke dalam proyek nasional Indonesia, serta yang terkini adalah globalisasi.
Dalam tiap fase itu, apa yang disebut sebagai identitas Sasak direformulasi ulang, baik dalam bentuk struktur sosial, bahasa, cara beragama, maupun sistem pengetahuan.
Maka, mengklaim satu periode tertentu sebagai cerminan keaslian Sasak adalah tindakan yang tidak hanya ahistoris, tetapi juga menggelapkan. Dengan kata lain, membincangkan Sasak asli itu sangat tidak relevan.
Klaim keaslian adalah bentuk kekuasaan. Ia bekerja bukan untuk melindungi identitas, tetapi untuk menguasai tafsir atas identitas.
Dalam konteks Lombok, kita menyaksikan bagaimana sebagian elit budaya dan politik membakukan bentuk-bentuk tertentu dari tradisi seperti nyongkolan, peresean, gendang beleq, atau istilah adat seperti begawe dan sangkep beleq sebagai tanda-tanda utama Sasak asli.
Tantangan Utama Gubernur Iqbal dari Bangsa Sasak Sendiri |
![]() |
---|
Masnun Tahir: Antara UIN Mataram dan NU NTB |
![]() |
---|
Merawat Kebersamaan Tanpa Unjuk Rasa, MotoGP Wajah Indonesia dari NTB untuk Dunia |
![]() |
---|
Hultah NWDI: Warisan Spiritualitas dan Kebersamaan |
![]() |
---|
Refleksi Pelantikan PW NU NTB: Mengikat Ukhuwah, Menata Masa Depan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.