Opini
Perlindungan Hukum terhadap Pelaku dan Eksekutor Aborsi Legal, Apakah Sudah Optimal?
Tindak aborsi ilegal merupakan fenomena terselubung dikarenakan praktiknya yang sering tidak tampil ke permukaan
Belum lagi proses pelaporan dan pemeriksaan tindak pidana pemerkosaan yang memakan banyak waktu, sehingga waktu yang dimiliki korban untuk melakukan aborsi bersyarat menjadi semakin sempit.
Hal ini lah yang memungkinkan meningkatnya angka aborsi tidak aman, karena adanya hukum yang masih terkesan abu-abu dimata korban maupun para dokter.
Sebagian besar korban masih merasa takut atas larangan aborsi yang telah beredar luas di masyarakat tanpa mengetahui persyaratan khusus tindak aborsi, terutama bagi korban pemerkosaan, sehingga memilih untuk melakukan aborsi di klinik-klinik ilegal.
Tidak banyak pula, korban pemerkosaan yang memilih untuk aborsi dibawa ke meja hijau dan dijatuhi hukuman.
Padahal seharusnya, bagaimanapun kondisi dengan akibat apapun, setiap perempuan Indonesia tetap memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai dan berhak menentukan kehidupan reproduksinya secara bebas dengan perlindungan hukum.
Begitu pula dengan para dokter, sebagai eksekutor aborsi bersyarat. Tidak sedikit kasus dokter yang diseret ke meja hijau karena melakukan aborsi bersyarat pada korban pemerkosaan.
Hukum tentang aborsi bersyarat yang masih abu-abu menyebabkan dokter tidak berani menyetujui permintaan korban untuk menggugurkan kehamilannya bahkan setelah memenuhi syarat.
Padahal, pada Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang nomor 36 tahun 2009, salah satu pengecualian tindak pidana aborsi adalah kehamilan akibat pemerkosaan yang menyebabkan trauma psikologis bagi korbannya.
Tekanan psikologis yang dialami korban, tentunya merupakan indikasi medis untuk melakukan aborsi, asalkan tetap memenuhi persyaratan lain yang telah dijelaskan pada UU nomor 36 tahun 2009, sebagai dasar hukum yang melindungi korban pemerkosaan untuk menggugurkan kandungannya. Undang-undang tersebut juga harusnya mendasari wewenang dokter yang berkompeten untuk melakukan pengguguran kandungan.
Maka dari itu, optimalisasi penerapan perlindungan hukum terhadap dokter sebagai eksekutor aborsi bersyarat serta korban pemerkosaan yang memutuskan untuk melakukan aborsi bersyarat harus digencarkan. Selain itu, edukasi terhadap masyarakat pun juga harus ditekankan supaya tidak menambah trauma psikologis terhadap para korban.
Pihak-pihak berwenang juga diharapkan untuk meninjau dan memperhatikan kembali perlindungan-perlindungan hukum yang telah dijanjikan dan seharusnya didapatkan oleh seluruh masyarakat sebagai hak mereka.
Indrawati, S.Ked. adalah dokter muda mahasiswa magister Universitas Hang Tuah Surabaya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.