Perdagangan Orang di NTB
Satu Korban TPPO Dibeli Rp 125 Juta, Pemalsu Alamat Belum Dijerat
Para tekong juga memanfaatkan keluarga terdekat untuk membujuk calon buruh migran supaya mau dikirim ke luar negeri.
Penulis: Sirtupillaili | Editor: Wulan Kurnia Putri
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Sirtupillaili
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Aktivis Pendamping Buruh Migran NTB Zuhriatun mengatakan, yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) kebanyakan berasal dari daerah pinggiran.
Mereka sulit mengakses informasi terkait prosedur menjadi buruh migran yang aman.

Sehingga mereka mudah terpengaruh para tekong atau sponsor yang mencari mangsa ke desa-desa.
Para tekong juga memanfaatkan keluarga terdekat untuk membujuk calon buruh migran supaya mau dikirim ke luar negeri.
Baca juga: Termakan Tipu Daya Tekong, Korban TPPO Kantongi Paspor ‘Kosong’
Seluruh urusan dokumen pemberangkatan diurus para tekong dan jaringannya di tingkat kabupaten dan provinsi, sehingga calon korban bisa dikirim dengan mulus.
”Jadi mereka ini berantai kayak ranting-ranting. Nanti ada jaringan lagi di tingkat nasional,” ungkapnya.
Supaya jejak jaringan tidak mudah diketahui. Sindikat ini menerapkan sistem jual beli putus. Calo tingkat provinsi hanya kontak dengan calo di Jakarta.
Setelah mengirim tugas mereka anggap selesai. Calo di provinsi tidak tahu kepada siapa korban akan dijual ke luar negeri.
Para korban rata-rata baru sadar dikirim secara tidak resmi setelah berada di perbatasan antar negara. Sehingga mereka tidak bisa melawan dan ikut perintah si agen.

35 Kasus TPPO di NTB
Kasubdit IV Bidang Remaja Anak dan Wanita, Ditreskrimum Polda NTB AKBP Ni Made Pujawati menyebutkan, pihaknya menangani 35 kasus TPPO sejak 2017. Termasuk tiga kasus yang sedang ditangani tahun 2021 ini.
Kasus TPPO mulai banyak ditangani Polda sejak 2018, terutama mereka yang dikirim ke Suriah dan Turki. ”Sebagian besar pekerja migran yang menjadi korban TPPO,” katanya.
Pujawati mengakui, berdasarkan penyelidikan polisi, hampir semua identitas kependudukan korban TPPO dipalsukan pelaku.
Tujuannya agar si korban bisa masuk ke negara tujuan.
”Salah satu modus yang kita ungkap adalah pemalsuan (identitas), sebagian besar begitu,” katanya.
Dengan memalsukan identitas korban, agen dengan mudah mengirim mereka ke luar negeri.
Sebab negara tujuan memiliki standar usia para pekerja. Misalnya Singapura, hanya mereka yang berusia 25 tahun boleh bekerja.
”Ketika warga kita yang mau bekerja di luar negeri kurang dari 25 tahun, salah satu caranya mereka menambah usia sebagai syarat administrasi,” ungkapnya.

Dalam proses penyelidikan, pemalsuan identitas korban TPPO paling sering ditemukan.
Namun demikian, kepolisian belum mengungkap siapa oknum-oknum yang membantu para tekong atau agen memalsukan identitas korban.
”Tidak semua dari institusi atau aparat, tetapi bisa kami temukan,” katanya.
Pihaknya sejauh ini belum menemukan fakta keterlibat oknum-oknum dalam pemalsuan identitas korban.
Pengungkapan perdagangan orang, lanjut Pujawati, polisi berpedoman pada Pasal 10 dan 11, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO.
Para pihak yang dijerat adalah mereka yang ikut merencanakan dan bermufakat untuk melakukan TPPO.
”Mereka yang merekrut, memindahkan, menampung, dan mengeksploitasi, orang-orang itu yang kemudian bisa terkait dalam perkaraTPPO,” jelasnya.
Menurut Pujawati, jaringan yang terlibat dalam TPPO cukup banyak.
Pelakunya tidak cuma satu sindikat, tetapi banyak kelompoknya. ”Pemainnya beda-beda, banyak sekali,” katanya.
Hal itu sejalan dengan banyaknya perusahaan pengerah tenaga kerja dan tekong lapangan yang merekrut calon pekerja.
Baca juga: Tekong Kongkalikong dengan Oknum Petugas Camat hingga Dukcapil
Provinsi NTB merupakan salah satu kantong pekerja migran Indonesia.
Sebelum pandemi Covid-19, seorang tekong atau sponsor bisa mengirim sampai ratusan orang setiap tahun.
Permintaan pekerja migran di luar negeri sampai hari ini masih sangat tinggi.

Calon majikan mencari pekerja pada agen resmi, sehingga berani mengeluarkan uang Rp 125 juta untuk mendapatkan seorang pekerja migran.
Tapi kenyataanya, pekerja yang didatangkan agen dari Indonesia banyak yang cacat prosedur.
(*)