Berita Sumbawa

SP Sumbawa Desak Pemerintah Tinjau Ulang Program Food Estate

SP Sumbawa juga menilai kebijakan perluasan lahan besar-besaran berdampak langsung pada kehidupan ekonomi petani

Penulis: Rozi Anwar | Editor: Wahyu Widiyantoro
ISTIMEWA
Ketua SP Sumbawa Nurwahdania. SP Sumbawa juga menilai kebijakan perluasan lahan besar-besaran berdampak langsung pada kehidupan ekonomi petani. 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Rozi Anwar 

TRIBUNLOMBOK.COM, SUMBAWA - Solidaritas Perempuan (SP) Sumbawa menyoroti dampak negatif program Food Estate di Kabupaten Sumbawa yang dinilai meminggirkan peran perempuan petani dan merusak kedaulatan pangan lokal.

Ketua SP Sumbawa Nurwahdania mengungkapkan perempuan memiliki peran penting dalam menjaga dan mengelola sumber pangan lokal berbasis kearifan tradisional. 

Namun, kebijakan pertanian yang seragam dan industrial justru menghapus ruang perempuan dalam menentukan sumber pangannya sendiri.

“Perempuan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang lebih dalam terhadap pangan keluarga yang sehat dan berkelanjutan. Sayangnya, penyeragaman benih dan penggunaan bahan kimia pertanian telah menghilangkan kedaulatan perempuan atas pangan,” ujar Nurwahdania, pada Selasa (21/10/2025).

Ia menjelaskan, sejak 2022 program Food Estate menjadikan Sumbawa sebagai lumbung jagung nasional dengan target produksi satu juta ton. 

Baca juga: Pemprov NTB Harap Potensi Blue Food di Pantai Selatan Lombok Didukung Pemerintah Pusat

Pemerintah daerah menargetkan peningkatan produktivitas hingga 105 ribu hektare pada tahun 2025. 

Namun, perluasan lahan besar-besaran menimbulkan dampak lingkungan yang serius.

“Pembukaan lahan menyebabkan penggundulan gunung, kekeringan, dan banjir di berbagai wilayah meskipun curah hujan rendah,” katanya.

Selain kerusakan lingkungan, SP Sumbawa juga menilai kebijakan tersebut berdampak langsung pada kehidupan ekonomi petani. 

Biaya produksi yang tinggi memaksa petani berutang ke lembaga keuangan. 

Sementara harga jagung pada saat panen sering kali tidak sesuai dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang seharga Rp5.500 per kilogram dengan kadar air 18–20 persen.

Situasi ini membuat banyak petani, khususnya perempuan, terjerat utang dan kehilangan kemampuan untuk mengelola sumber benih lokal. 

Akibatnya, sistem pertanian alami yang selama ini dijaga perempuan tergantikan oleh pola industri yang tidak berkelanjutan.

SP Sumbawa menilai kondisi tersebut menunjukkan adanya ketimpangan gender dalam kebijakan pertanian. 

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved