Opini

In Memoriam H. Lalu Nasib AR: Orang Sasak Terbaik

Segala penghormatan tidaklah cukup hanya berupa ucapan belasungkawa. Perlu ada permenungan mendalam

Editor: Laelatunniam
ISTIMEWA
LALU NASIB WAFAT - Kabar duka datang dari dunia seni dan budaya NTB. Dalang senior wayang Sasak, Lalu Nasib, meninggal dunia pada Jumat, 29 Agustus 2025. 

Oleh: Salman Faris, Dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia

TRIBUNLOMBOK.COM - Mengenang orang besar bukanlah perkara mudah. Dalam setiap langkah kata yang dituliskan, selalu ada rasa bahwa kalimat tidak pernah mampu menandingi jejak yang ditinggalkan oleh hidup mereka.

Demikian pula ketika nama Lalu Nasip disebut (Penulisan nama beliau kadang Lalu Nasib dan Lalu Nasip. Yang satu merujuk pada ejaan, dan satunya lagi merujuk peda pelisanan Sasak). Beliau bukan sekadar seniman, melainkan seorang penggerak peradaban yang lewat daya cipta dan ilham meninggalkan jejak abadi dalam kebudayaan Sasak.

Di hadapan sosok semacam ini, segala penghormatan tidaklah cukup hanya berupa ucapan belasungkawa. Perlu ada permenungan mendalam yang menegaskan kembali kedudukan peninggalan besar.

Bukan semata-mata untuk mengenang, melainkan untuk memastikan bahwa warisan itu tidak lenyap ditelan arus zaman. Sebab, yang kita tumpukan bukan sekadar riwayat hidup, tetapi fondasi peradaban penciptaan yang memberi arah bagi generasi Sasak masa kini dan masa depan.

Lalu Nasip adalah manusia Sasak yang memikirkan banyak hal tentang bangsanya. Pada diri beliau dapat dijumpai setiap babak fenomena Sasak. Sebuah refleksi yang bahkan seorang intelektual paling mumpuni sekalipun kerap tidak mampu menjangkaunya.

Beliau tidak sekadar menciptakan karya seni, melainkan memadatkan pengalaman kolektif Sasak ke dalam bentuk-bentuk artistik yang abadi. Karena itu saya sering mengatakan, jika ingin melihat Sasak dalam fase-fase penting sejarah modern mereka, maka lihatlah karya-karya Lalu Nasip. Di sana semua tergambar. Tidak ada yang tertinggal. Ia mampu menghadirkan denyut sosial, pergulatan budaya, nadi ekonomi, kompleksitas keagamaan hingga dinamika identitas dalam sebuah ruang kreatif yang kaya makna.

Sangat jarang (terbatas) orang Sasak yang bisa menjadikan diri sebagai semacam folder besar bagi bangsanya sendiri. Sebuah arsip hidup yang menyimpan, mengolah, dan menyalurkan ingatan kolektif melalui jalur seni.

Dalam diri Lalu Nasip, kesenian tidak lagi berdiri sebagai hiburan atau ekspresi individual semata, melainkan sebagai dokumen kultural yang menyimpan perjalanan Sasak dalam bentuk paling otentik.

Ketika ditanya, apa karya besar Lalu Nasip, saya tidak pernah ragu menyebut tiga hal. 1) dramaturgi Sasak yang termanifestasi dalam drama Penginang Robek. 2), musikologi Sasak yang dituangkan dalam Cibane, dan 3) reinvensi Sasak yang diwujudkan dalam Wayang Sasak.

Tiga karya ini bukan sekadar produk artistik, melainkan batu penanda yang menegaskan eksistensi kebudayaan Sasak dalam jalur asli yang mandiri. Sekaligus menjadi rujukan epistemologis untuk memahami seni Sasak, budaya Sasak, agama Sasak, politik Sasak secara benar. Ketiga karya tersebut, dengan kadar orisinalitas yang kuat, memperlihatkan bahwa ada seni Sasak yang murni berakar pada kearifan lokal.

Sementara pengaruh luar hanya hadir sebagai tempelan kecil yang tidak mengubah esensi dasarnya. Itulah yang saya sebut sebagai keaslian, sebuah kondisi ketika karya seni mampu mencerminkan kosmos masyarakat yang melahirkannya tanpa harus bergantung pada hegemoni luar.

Drama Penginang Robek menunjukkan bagaimana dramaturgi Sasak menemukan bentuknya sendiri. Dalam karya itu, Lalu Nasip menghadirkan dunia yang sepenuhnya bersumber dari pengalaman dan imajinasi Sasak. Meskipun bagi pengamat dari luar bisa jadi tampak ada sekilas jejak neoklasik Prancis atau bayangan opera Cina.

Namun kenyataannya, Lalu Nasip tidak pernah berhubungan langsung dengan tradisi-tradisi besar tersebut. Justru di situlah kejeniusan beliau tampak karena mampu mengekspresikan sesuatu yang universal dengan bahasa kesenian yang lahir dari tanah Sasak.

Drama itu tidak terjebak dalam imitasi, melainkan mencipta bentuk baru yang berakar dari kosmos budaya sendiri. Dalam setiap babak, dialog, dan gestur, dapat dirasakan bahwa ini adalah suara Sasak yang otentik. Bukan bayangan budaya lain yang disalin mentah-mentah.

Halaman
123
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved