Opini

Gaji Guru: Hak yang Wajib Dijamin Negara

Siapa yang sebenarnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan guru dan dosen di negeri ini?

Editor: Idham Khalid
Dok. Istimewa
OPINI - Lalu Usman Ali Guru Honorer dan Dosen di UIN Mataram 

Oleh: Lalu Usman Ali (Guru Honorer dari Tahun 2006-2018, Dosen UIN Mataram / Mahasiswa Doktoral Universitas Sebelas Maret, Surakarta)

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawangsa dalam Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia tahun 2025 memantik perdebatan publik. Pada menit ke-57:12 di Youtube Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, ia mempertanyakan: “Gaji guru dan dosen kecil, apakah semua harus dari negara?” Kalimat ini menimbulkan kegelisahan, khususnya di kalangan tenaga pendidik yang selama ini sudah berjuang dalam kondisi jauh dari kata sejahtera.

Pertanyaan tersebut seolah sederhana, tetapi menyentuh inti persoalan: siapa yang sebenarnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan guru dan dosen di negeri ini? Jawabannya jelas: negara. Sebab gaji guru bukanlah hadiah atau kebaikan hati, melainkan hak yang melekat, dan pada saat yang sama menjadi kewajiban konstitusional negara untuk memenuhinya.

Mengutip dari katadata.com bahwa Pemerintah pada tahun 2025 mengalokasikan anggaran pendidikan Rp722,6. Angka ini naik 24 persen dari outlook APBN 2024 yang sebesar Rp583,1 triliun. Di dalam anggaran pendidikan tahun depan, Rp71 triliun atau 9,83?ri jumlah tersebut adalah anggaran makan bergizi gratis (MBG). Pada tahun 2026 anggaran ini juga naik, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menjabarkan alokasi anggaran pendidikan tahun 2026. 

Dalam Rancangan Anggaran Belanja dan Pengeluaran (RAPBN) 2026, total anggaran untuk pendidikan mencapai Rp 757,8 triliun. Untuk sekolah dan kampus anggaran mencapai Rp 150,1 triliun, untuk siswa dan mahasiswa Rp 401,5 triliun dan untuk guru, dosen, dan tenaga kependidikan senilai Rp 178,7 triliun serta biaya MBG Rp 335 triliun mendapatkan porsi sekitar 44?ri total anggaran pendidikan 2026 (Sumber: Jumpa Pers Nota keuangan RAPBN 2026, Menteri keuangan 15/8/2025).

Baca juga: 80 Tahun Kemerdekaan, Paradoks Pendidikan Indonesia

Saya tidak berani menjamin kalau seandainya bu Menteri Sri Mulyani menyampaikan bahwa beban negara yang paling besar saat ini yang dimasukkan ke dalam ranah pendidikan adalah makan bergizi gratis (MBG), yang pada tahun 2026 hampir separuhnya anggaran pendidikan, mungkin langsung dipecat sama Presiden karena mengganggu program prioritas dan janji politik Presiden. Tetapi Menteri Sri Mulyani malah lebih memilih mengganggu/menyinggung porsi untuk Guru dan dosen, karena profesi ini adalah profesi yang paling cepat memaafkan di dunia akherat ini.

Guru Belum Sejahtera

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak guru, terutama yang berstatus honorer, masih hidup dalam keterbatasan. Data Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) mencatat lebih dari 74 % guru honorer hanya digaji di bawah Rp2 juta per bulan. Bahkan, ada yang hanya menerima Rp300 ribu–Rp500 ribu per bulan. Dosen di perguruan tinggi swasta pun tidak lebih baik, sebagian besar menerima gaji Rp2 juta–Rp3 juta, angka yang jelas tak sebanding dengan kebutuhan hidup maupun beban akademik yang mereka pikul. 

Malah pengalaman dari tahun 2006 menjadi guru dan penggerak pendidikan di daerah pegunungan Bali Utara bahwa gaji itu masih diberikan dibawah Rp200 Ribu per bulan, akan tetapi kami masih semangat untuk mengabdi mencerdaskan generasi. Pada tahun 2016 membangun SMK di Lotim bagian utara, bahwa guru-guru belum bisa diberikan gaji akan tetapi mereka tetap semangat hadir mengajar di sekolah tersebut. Apakah perjuangan mereka ini, sekarang dipertanyakan ketika dianggap beban negara. Padahal dalam janji politik Presiden, guru swasta pun akan diberikan gaji minimal Rp 2 Juta perbulan.

Kondisi ini ironis, di satu sisi guru dituntut profesional, mendidik dengan sepenuh hati, membangun karakter bangsa; di sisi lain mereka sendiri kesulitan memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Tidak sedikit kisah guru yang harus bekerja sambilan menjadi ojek online, berjualan, atau bahkan buruh lepas hanya untuk bertahan hidup.

Lebih menyakitkan lagi, guru kerap menjadi sasaran perubahan kebijakan pendidikan. Program sertifikasi, perubahan kurikulum, hingga mekanisme rekrutmen ASN seringkali tidak berpihak kepada mereka. 

Guru honorer, yang jumlahnya ratusan ribu, terus menunggu kepastian status tanpa perlindungan memadai. Mereka tetap diminta mengajar, tetapi dengan bayaran yang jauh dari layak. Dalam konteks ini, guru benar-benar menjadi “tumbal kebijakan”: diminta berkorban demi sistem, tetapi belum diperlakukan secara adil.

Gaji Guru adalah Hak, Bukan Belas Kasihan

Konstitusi Indonesia melalui UUD 1945 Pasal 31 secara tegas menyebut bahwa negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat ini tidak mungkin terwujud tanpa guru yang profesional dan sejahtera. Dengan demikian, memberikan gaji layak kepada guru bukanlah beban negara, melainkan implementasi dari kewajiban konstitusional.

Pernyataan bahwa “apakah semua harus dari negara” patut direnungkan. Justru negara tidak boleh cuci tangan. Keterlibatan masyarakat dalam mendukung pendidikan memang penting, tetapi hal itu hanya pelengkap. Tanggung jawab utama tetap berada di pundak negara. Jika kesejahteraan guru diserahkan pada mekanisme pasar atau donasi masyarakat, maka pendidikan akan kehilangan ruh keadilan sosial. Anak-anak dari keluarga miskin akan semakin tertinggal karena gurunya tidak mendapatkan dukungan yang layak.

Guru adalah pilar peradaban, mereka tidak hanya mengajar ilmu, tetapi juga menanamkan nilai, moral, dan harapan. Bila gaji mereka dipertanyakan, maka yang sesungguhnya dipertaruhkan adalah masa depan bangsa. Karena itu, gaji guru bukan sekadar angka dalam APBN, melainkan penghormatan terhadap martabat manusia yang mengabdikan diri bagi generasi penerus.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved