Opini
Menjawab Asta Cita Presiden Prabowo, NTB Genjot MBG untuk Generasi Emas dari Dapur Negeri
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan keseriusan untuk mengawal amanat tersebut, bukan hanya sebagai pelaksana teknis, tetapi sebagai pionir.
Oleh: Dr.H. Ahsanul Khalik
*Staf Ahli Gubernur NTB Bidang Sosial Kemasyarakatan
Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu program prioritas nasional Presiden Prabowo Subianto yang dirancang untuk membentuk generasi emas Indonesia 2045. MBG bukan sekadar program bantuan makanan, melainkan fondasi dari strategi besar membangun sumber daya manusia unggul melalui intervensi gizi, pendidikan, ketahanan pangan, dan pemberdayaan ekonomi lokal.
Dalam konteks ini, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menunjukkan keseriusan untuk mengawal amanat tersebut, bukan hanya sebagai pelaksana teknis, tetapi sebagai pionir dan penguat model keberhasilan MBG di tingkat daerah.
NTB membuktikan dengan langkah konkret, dalam hal ini Gubernur Iqbal tidak hanya mendukung secara administratif, tetapi juga memformulasikan pendekatan strategis yang menjadikan MBG sebagai gerakan bersama antara pemerintah, pesantren, masyarakat desa, dan pelaku ekonomi lokal.
NTB adalah provinsi yang memiliki segala sumber daya untuk memperkuat MBG, yaitu:
Pertama, NTB kaya akan produk pertanian dan perikanan lokal, beras, jagung, telur, sayur-sayuran bahkan kelor serta ikan laut dari seluruh wilayah NTB.
Kedua, NTB memiliki basis komunitas sosial yang solid. Posyandu, PKK, pesantren, karang taruna, dan UMKM pangan telah lama menjadi penggerak pembangunan di tingkat akar rumput.
Ketiga, intervensi gizi berbasis desa bukan hal baru di NTB. Program stunting, sekolah sehat, dan pemanfaatan dana desa untuk pemenuhan gizi sudah berjalan dan bisa menjadi daya dukung MBG yang hadir sebagai program nasional.
Dengan kata lain, MBG di NTB tidak harus dimulai dari nol. Fondasinya telah ada, tinggal diperkuat, diperluas, dan disinergikan dengan desain nasional. Dan inilah yang sedang dilakukan Gubernur Iqbal dengan pendekatan khas NTB, memberdayakan yang sudah ada, bukan menciptakan yang baru dengan biaya besar.
Salah satu langkah nyata adalah rencana pembentukan 10 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) berbasis pondok pesantren, sebagai pilot project yang didukung dana CSR BUMN.
Gubernur Iqbal tidak sekedar melihat pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan, tetapi sebagai pusat pemberdayaan pangan dan gizi komunitas. Setiap pesantren didorong untuk memiliki dapur sehat, lahan tanam sayur organik, peternakan ayam, serta terlibat dalam distribusi makanan sehat bagi santri dan masyarakat sekitar, terutama kelompok rentan seperti ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.
Gubernur Iqbal juga menegaskan pentingnya menghindari inflasi dengan tidak bergantung penuh pada pasar terbuka dalam pengadaan bahan baku MBG. Beliau merancang agar bahan baku MBG disuplai dari petani dan nelayan lokal yang terorganisasi.
Untuk itu, Pemprov NTB mendorong terbentuknya kemitraan tetap antara SPPG, sekolah, pesantren, dan kelompok tani, nelayan, serta UMKM. Model ini harus mulai dikembangkan sebagai salah satu upaya menjadikan MBG sebagai motor ekonomi lokal.
Dalam pendekatan yang lebih teknokratik, Pemprov NTB juga mendorong Badan Gizi Nasional dapat menyusun sistem berbasis data untuk mengelola MBG, termasuk platform digital untuk memantau distribusi, status gizi anak, serta keterlibatan rantai pasok lokal. Pemanfaatan data spasial, dashboard monitoring, dan pelaporan berbasis real-time.
Apa yang terjadi di NTB saat ini adalah praktik nyata dari integrasi kebijakan pusat dan kekuatan lokal. Hingga pertengahan 2025, NTB telah terbentuk lebih dari 60 SPPG, jauh lebih tinggi dibandingkan Provinsi Bali misalnya, yang baru mencapai 16. Targetnya adalah membentuk 350 hingga 450 SPPG hingga 2026. Capaian ini bukan hanya soal angka, tetapi tentang keseriusan dan kematangan perencanaan daerah dalam mengawal program strategis nasional.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.