Opini
Melawan Kutukan Sasak Lebung
Frantz Fanon (2016), pemikir gerakan antikolonial dan dekolonisasi bahwa kolonialisme telah menyebabkan proses dehumanisasi pada bangsa terjajah.
Benarkah demikian? Tulisan singkat ini akan mencoba memproblematisasi proses reduksi dan pembekuan identitas orang Sasak sebagai refleksi dari mana dan mau ke mana bangsa Sasak ini bergerak maju.
Standarisasi (pembakuan) kebudayaan oleh segelintir elit Sasak telah melahirkan pembatasan terhadap kreativitas manusia Sasak dalam menghasilkan produk kebudayaannya.
Situasi ini telah memunculkan istilah yang disebut budaya Sasak (yang adiluhung) asli dan bukan budaya Sasak (untuk tidak mengatakan Sasak palsu).
Contoh paling aktual dari situasi ini adalah pemujaan terhadap gendang beleq yang diklaim sebagai kesenian adiluhung orang Sasak dan hujatan terhadap ale-ale serta kecimol sebagai kesenian yang (dianggap) bukan Sasak.
Bahkan dalam konteks tertentu, kemunculan ale-ale dan kecimol divonis sebagai perusak kebudayaan orang Sasak. Vonis ini tidak hanya diberikan oleh elite Sasak, tetapi juga oleh sesama orang Sasak biasa yang telah menjadi korban dominasi tafsir tunggal bentuk kebudayaan Sasak.
Salman Faris lagi-lagi dalam disertasi doktoralnya (2014) mengambil posisi pasang badan ‘membela’ kesenian ale-ale sebagai produk kebudayaan masyarakat Sasak kontemporer.
Ale-ale tidak sekedar ekspresi kesenian, tetapi secara ideologis menjadi ekspresi perlawanan terhadap nilai kebudayaan bangsa Sasak yang telah dibakukan oleh elit bangsawan dan agamawan.
Hal yang sama juga dipotret oleh Abdul Rahim (2022) dalam bukunya yang berjudul “Gendang Beleq Yang Adiluhung, Kecimol yang Rendahan”.
Kecimol sebagai anak kandung kebudayaan masyarakat Sasak kontemporer telah mengambil posisi bediri gagah pada kutub berlawanan menentang klaim-klaim keaslian kesenian asli Sasak oleh sebagian orang Sasak sendiri.
Eksistensi ale-ale dan kecimol bukan sekedar produk kebudayaan kreasi orang Sasak kontemporer. Tetapi kemunculannya dapat dimaknai sebagai praktik perlawanan terhadap wacana budaya asli Sasak yang selama ini beroperasi melalui kekuasaan wacana pengetahuan budaya segelintir elit tokoh atau lembaga adat Sasak.
Bangsa Sasak sekian lama mengalami keterjajahan budaya sejak dalam pikiran. Ketika ingin mengekspresikan kreativitasnya, orang Sasak menjadi inferior dan tidak percaya diri karena takut divonis merusak tatanan budaya Sasak peninggalan nenek moyang.
Pada titik ini, menjadi orang Sasak seperti kutukan sebagai bangsa yang terjajah, bodoh, miskin imajinasi dan kreativitas budaya.
Betapa tidak adilnya jika kebudayaan diartikan sebagai segala sesuatu yang memiliki nilai estetika dan makna filosofis, lalu hanya boleh ditafsirkan oleh segelintir elit kemudian dianggap kebenaran tunggal yang harus disetujui semua orang.
Padahal, sebagaimana dinyatakan oleh para pemikir culture studies bahwa budaya adalah praktik kehidupan sehari-hari yang memiliki pertautan dengan konteks sosial politik zamannya.
Pembakuan dan purifikasi atas budaya Sasak telah membawa bangsa Sasak pada siklus kematian berulang-ulang setelah ditindas kolonialisme Kerajaan Bali Karangasem, Belanda, dan Jepang.
Ironi wajah bangsa Sasak

Sebagai bekas bangsa jajahan, orang Sasak tidak pernah percaya diri untuk berdiri sendiri dengan identitas kebudayaannya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Frantz Fanon (2016), salah seorang pemikir besar gerakan antikolonial dan dekolonisasi bahwa kolonialisme telah menyebabkan terjadinya proses dehumanisasi pada bangsa-bangsa terjajah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.