Opini

Meragukan Babad-babad Sasak

Michel Foucault menyatakan bahwa sejarah tidak pernah bebas dari kuasa, karena narasi masa lalu adalah wacana yang dibentuk oleh kekuatan politik.

Editor: Sirtupillaili
Dok.Diskominfotik NTB
Salman Faris merupakan dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan pengarang novel "Tuan Guru". 

Oleh: Salman Faris

Dalam kebudayaan Sasak, babad adalah ruang ingatan yang dianggap sakral dan legitim, seolah menyimpan kebenaran sejarah yang tidak dapat digugat. 

Narasi tentang raja-raja kuno, pertempuran, migrasi, kesaktian, mitos leluhur serta pembentukan tatanan sosial dituangkan dalam bentuk teks lisan dan tulisan yang dihormati sebagian masyarakat sebagai representasi masa lalu yang utuh. 

Hingga kini, berbagai babad masih dijadikan sumber utama dalam penulisan sejarah dan pembentukan identitas manusia Sasak, baik oleh sarjana lokal maupun peneliti dari luar negeri. 

Ketergantungan terhadap narasi-narasi tradisional ini telah menyebabkan kelengahan kolektif di kalangan masyarakat Sasak sendiri untuk secara kritis menggali dan merumuskan jati diri mereka melalui pendekatan lain yang mungkin lebih empiris, objektif, kontekstual, relevan, dan memiliki cakupan logis yang lebih luas.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, nalar kritis masyarakat Sasak berisiko terjebak dalam kemalasan berpikir yang justru membahayakan eksistensi dan masa depan entitas budaya mereka sendiri.

Bahkan yang paling membahayakan adalah munculnya sejarawan-sejarawan Sasak yang meyakini kemurnian Sasak sebagaimana dilukiskan dalam babad, lalu memaksakan keyakinan tersebut sebagai satu-satunya kebenaran sejarah. 

Dalam pandangan saya, mereka adalah sejarawan yang justru menjadi korban narasi babad. Anehnya, mereka secara aktif memperluas jebakan itu dengan menyempitkan ruang diskursus sejarah serta keberadaan manusia Sasak itu sendiri. 

Bahayanya semakin besar ketika para sejarawan semacam ini mulai menunjukkan gejala dipercaya dan diikuti oleh orang Sasak. Sudah tentu ini sangat bahaya jika mereka menjadikan narasi tunggal yang bersumber babad sebagai dasar dominan dalam pembacaan identitas dan sejarah komunitas Sasak.

Karena itu, pertanyaan mendasar harus dimunculkan, benarkah babad-babad Sasak mewakili realitas sejarah sebagaimana terjadinya? Atau justru merupakan konstruksi ideologis yang menyembunyikan lebih banyak daripada yang ia ungkap? 

Atas dasar pertanyaan ini, melalui tulisian ini saya menyeru untuk melakukan gerakan meragukan posisi babad sebagai teks sejarah murni dan mengajukan pendekatan kritis untuk menelanjangi babad sebagai produk kekuasaan, sebagai alat penata identitas yang terkontrol, serta sebagai narasi hegemonik yang mengatur apa yang layak diingat dan apa yang harus dilupakan dalam ruang budaya Sasak.

Meragukan babad bukanlah tindakan pengingkaran terhadap warisan leluhur, melainkan langkah epistemologis untuk membongkar cara kekuasaan masa lampau dan masa kini bekerja melalui narasi hegemonik di tengah orang Sasak

Dalam konteks ini, teori kritik sejarah Michel Foucault menjadi alat pembuka untuk membaca babad bukan sebagai cermin masa lalu, melainkan sebagai rezim kebenaran. 

Dengan kata lain, semua babad tersebut hampir sepenuhnya menarasikan tentang kaum elit dan meniadakan peran besar kaum bawah dalam pembentukan sejarah dan manusia Sasak.

Michel Foucault menyatakan bahwa sejarah tidak pernah bebas dari kuasa, karena narasi tentang masa lalu adalah hasil kerja wacana yang dibentuk oleh kekuatan politik, sosial, dan kultural. 

Halaman
1234
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved