Opini

Meragukan Babad-babad Sasak

Michel Foucault menyatakan bahwa sejarah tidak pernah bebas dari kuasa, karena narasi masa lalu adalah wacana yang dibentuk oleh kekuatan politik.

Editor: Sirtupillaili
Dok.Diskominfotik NTB
Salman Faris merupakan dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan pengarang novel "Tuan Guru". 

Dalam babad Sasak, kita menemukan hal yang sama. Narasi tentang lahirnya kerajaan Laeq, Suwung, Pamatan, kerajaan Lombok, Selaparang, Pejanggik, Perang Sakra, Perang Praya, pernikahan mistis antara bangsawan dengan jin, serta dominasi budaya luar terhadap pulau ini disusun tidak sepenuhnya sebagai fakta sejarah melainkan sebagai legitimasi struktur kekuasaan yang sedang atau telah berkuasa. 

Dalam kerangka ini, babad menjadi arena tempat para elit menyusun legitimasi melalui cerita, menyelubungi kekuasaan dengan kesakralan, dan menyingkirkan narasi tandingan yang mengganggu stabilitas kekuasaan mereka.

Lebih jauh, Maurice Halbwachs dan Paul Ricoeur memperkenalkan gagasan tentang ingatan kolektif yang terstruktur secara sosial. Menurut Halbwachs, masyarakat hanya mengingat hal-hal tertentu yang dibentuk melalui struktur sosial yang ada. 

Ingatan bukanlah sesuatu yang netral atau alami, melainkan dibentuk oleh apa yang disebut sebagai kerangka sosial memori. Dalam babad Sasak, hal ini terlihat jelas. Yang diingat adalah kisah para bangsawan dengan mitos leluhur, pemimpin sakti, pahlawan lelaki, wanita cantik nan suci, serta momen-momen besar yang menguntungkan tatanan dominan. 

Sementara yang dilupakan adalah suara perempuan desa, pengalaman rakyat jelata, kekalahan budaya minoritas, peran kaum bawah, dan jejak subaltern yang tidak sesuai dengan struktur dominan. 

Babad tidak terlalu mencatat penderitaan petani, pertentangan dari rakyat jelata tentang kasta yang dibungkus mitos, atau keberadaan komunitas Sasak marginal di luar sistem kekuasaan. 

Ingatan kolektif dalam babad telah diatur sedemikian rupa untuk menjaga narasi agung yang menguntungkan sebagian pihak dan melupakan kenyataan yang tidak menyenangkan. Lupa dalam konteks ini bukan berarti ketiadaan, melainkan hasil kerja ideologis yang sengaja diproduksi.

Hal ini membawa kita pada ranah poskolonial, terutama pada gagasan Edward Said tentang orientalisme dan Homi Bhabha tentang hibriditas. 

Dalam konteks Sasak, babad tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang interaksi dengan Bali, Jawa, Islam, dan kolonialisme Belanda. 

Babad yang kita warisi hari ini bukanlah teks murni dari masyarakat lokal yang otonom, melainkan teks yang telah melewati proses kolonialisasi budaya. 

Ia menyerap nilai-nilai luar, mengadopsi struktur kekuasaan asing, dan menyusun ulang identitas lokal agar sesuai dengan nilai-nilai hegemonik yang dibawa penguasa. 

Dalam keseluruhan proses tersebut, babad menjadi teks hibrid yang sarat negosiasi. Babad menempatkan kehidupan Sasak elit sebagai puncak peradaban kemudian menyudutkan kaum bawah sebagai cara hidup orang Sasak yang tidak menguntungka. 

Bahayaanya, kehidupan elit tersebut banyak yang menyimpang, tidak masuk akal namun karena elit akhirnya diterima sebagai kebenaran, lalu dijadikan sebagai dasar untuk mengonstruksi sejarah dan manusia Sasak

Pada hujungnya, para pemenang dengan kekuasaannya meski berlumuran darah dan amoral berhasil menulis ulang sejarah interaksi budaya sebagai dominasi dari luar ke dalam.

Dalam posisi tersebut kita menemukan orientalisme internal, yaitu proses konstruksi narasi tentang yang lain di dalam masyarakat sendiri. 

Halaman
1234
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved