Opini

Elitisasi Sejarah Sasak, Bercermin pada Teater Cupak Gerantang 

Michel Foucault menyatakan bahwa sejarah bukanlah rekaman masa lalu yang objektif, melainkan medan diskursif yang dipenuhi dengan relasi kuasa.

Editor: Sirtupillaili
Dok.Istimewa
Salman Faris. Penulis merupakan Dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan pengarang novel "Guru Dane". 

Oleh: Salman Faris

Teater Cupak Gerantang merupakan kesenian tradisional Sasak yang pertama kali saya pelajari secara akademik. Topik ini menjadi pintu masuk yang mengantarkan saya menyelesaikan pendidikan sarjana dalam bidang seni pertunjukan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dalam waktu relatif singkat. 

Pada masa itu, paradigma yang saya gunakan masih berada dalam kerangka positivis, dengan fokus utama pada perubahan bentuk dan fungsi teater Cupak Gerantang sebagai manifestasi seni tradisional. 

Pendekatan tersebut saya anggap sebagai tolok ukur kemampuan analitis yang sahih pada masa awal pembelajaran akademik saya.

Seiring perkembangan intelektual dan dinamika sosial masyarakat Sasak yang saya amati dari waktu ke waktu, saya merasa terpanggil untuk meninjau kembali Cupak Gerantang melalui pendekatan kajian budaya. 

Dalam kerangka ini, pertunjukan tidak lagi saya lihat sebagai entitas estetis yang berdiri sendiri, melainkan sebagai teks sosial yang berkelindan erat dengan pelbagai problematika kemasyarakatan. 

Pendekatan ini membuka ruang bagi saya untuk menyingkap pelbagai kode rahasia. (dalam tanda petik) yang selama ini tersembunyi di balik narasi dan bentuk pertunjukan. 

Saya mulai memahami bagaimana cerita dikonstruksi secara sistematis dan bagaimana pertunjukan direproduksi secara berulang untuk menanamkan nilai-nilai tertentu, melampaui persoalan bentuk dan fungsi semata.

Sejarah tidak pernah hadir dalam keadaan netral. Ia dibentuk oleh kuasa, disaring melalui institusi, dan dilestarikan oleh budaya. 

Dalam konteks masyarakat Sasak, narasi sejarah sering kali ditemukan dalam bentuk-bentuk ekspresi budaya rakyat, termasuk dalam seni pertunjukan tradisional. 

Di antara warisan tersebut, teater Cupak Gerantang menjadi salah satu medium penting yang bukan sekadar hiburan, tetapi juga wahana produksi dan reproduksi makna sosial. 

Namun di balik kekayaan estetik dan nilai kulturalnya, teater ini menyimpan jejak ideologis yang dalam. Ia menyuarakan dan sekaligus mengukuhkan relasi kuasa sosial, mewakili bentuk elitisasi sejarah Sasak yang berlangsung halus namun terus-menerus.

Tokoh utama, Cupak dan Gerantang tidak hanya hidup sebagai karakter dramatik. Mereka menjadi simbol dari dua kelas sosial yang terpolarisasi. 

Cupak, dengan watak yang dikontruski tamak, culas, dan egois, dan buruk rupa kerap dilihat sebagai representasi kelas bawah atau rakyat jelata. Narasi lokal ada yang menyebut ia dibesarkan oleh kalangan rakyat jelata yang bodoh dan miskin. 

Ia bukan murni berasal dari keluarga bangsawan, atau jika pun memiliki darah kerajaan, maka hanya sebagai anak selir. Sebuah status yang sejak awal sudah termarjinalisasi. 

Halaman
1234
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved