Opini
Elitisasi Sejarah Sasak, Bercermin pada Teater Cupak Gerantang
Michel Foucault menyatakan bahwa sejarah bukanlah rekaman masa lalu yang objektif, melainkan medan diskursif yang dipenuhi dengan relasi kuasa.
Sebaliknya, Gerantang digambarkan sebagai tokoh cerdas, sopan, tampan, dan bijaksana. Simbol dari bangsawan sejati yang lahir dari rahim kekuasaan yang sah. Pertentangan karakter ini tidak lahir secara alami, melainkan merupakan konstruksi yang dibentuk dan diwariskan melalui medium budaya, dalam hal ini teater tradisional.
Konstruksi semacam ini tidak dapat dilepaskan dari konsep hegemoni Antonio Gramsci, yang menjelaskan bahwa dominasi kelas penguasa tidak semata dilakukan melalui kekuatan koersif, melainkan secara lebih efektif melalui aparatus ideologis yang menciptakan konsensus sosial.
Seni pertunjukan, dalam kerangka ini, menjadi salah satu instrumen penting untuk menyisipkan nilai-nilai dan simbol-simbol kuasa ke dalam kesadaran masyarakat secara sukarela.
Cupak Gerantang, yang disuguhkan secara turun-temurun di tengah masyarakat Sasak, berperan sebagai ruang produksi hegemoni, di mana ide tentang kepemimpinan, moralitas, dan legitimasi disematkan kepada kaum elit. Sementara itu yang sebaliknya, yakni ketamakan, kekalahan, dan kenistaan dilekatkan pada rakyat.
Kehadiran narasi seperti ini membentuk sebuah nalar kolektif yang mengakar kuat dalam kesadaran sosial masyarakat Sasak. Anak-anak yang menonton pertunjukan ini sejak kecil, remaja yang menyerap cerita hingga orang dewasa yang menghidupkan kembali cerita tersebut dalam bentuk festival budaya, semuanya menyerap nilai-nilai yang telah dikonstruksikan itu.
Hal ini menandakan keberhasilan ideologi dalam menanamkan pemahaman historis yang berpihak, yang membentuk apa yang disebut Louis Althusser sebagai subjek ideologis.
Masyarakat diajak untuk menginternalisasi posisi sosialnya masing-masing tanpa paksaan, tetapi melalui sistem simbolik dan budaya yang mereka cintai.
Dalam konteks inilah penting untuk memeriksa bagaimana sejarah Sasak secara tidak sadar telah direduksi menjadi narasi elitis. Sejarah yang ditampilkan lewat Cupak Gerantang tidak merepresentasikan kompleksitas sosial masyarakat Sasak secara utuh, tetapi lebih sebagai refleksi dari apa yang diinginkan elit untuk dikenang dan diwariskan.
Michel Foucault menyatakan bahwa sejarah bukanlah rekaman masa lalu yang objektif, melainkan medan diskursif yang dipenuhi dengan relasi kuasa. Maka narasi bahwa kemenangan selalu berpihak pada elit dan kekalahan adalah kodrat rakyat, bukan semata-mata kenyataan historis, melainkan efek dari wacana yang dibentuk secara sistematis.
Tentu saja Cupak Gerantang tidak lahir dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari sejarah panjang masyarakat Sasak yang pernah hidup dalam sistem kerajaan, kolonialisme, dan kemudian pemaburan di tengah negara-bangsa modern.
Dalam struktur kerajaan, status sosial diwariskan secara turun-temurun, dan keturunan elit mendapat legitimasi otomatis sebagai pemimpin. Maka tidak mengherankan jika dalam bentuk-bentuk budaya, nilai-nilai itu ikut diserap dan diinstitusikan.
Namun warisan ini menjadi problematis ketika dibiarkan bekerja secara otomatis dalam kesadaran kolektif kontemporer tanpa pembacaan kritis. Dalam pertunjukan Cupak Gerantang, kita melihat bagaimana keturunan elit selalu diposisikan sebagai yang layak memimpin, yang layak menang, dan yang layak dikenang sebagai pahlawan sejarah.
Hal ini bersesuaian dengan gagasan Pierre Bourdieu mengenai habitus dan kapital simbolik. Habitus adalah struktur mental yang dibentuk oleh pengalaman sosial dan mewujud dalam praktik sehari-hari.
Melalui habitus budaya seperti teater, masyarakat belajar untuk menerima dan bahkan mencintai struktur sosial yang tidak adil. Cupak, yang selalu kalah, tidak semata-mata digambarkan sebagai tokoh jahat, tetapi juga sebagai tokoh yang tidak layak mendapatkan simpati.
Representasi ini mengarah pada reproduksi struktur sosial yang menempatkan rakyat jelata sebagai pihak yang tidak berkapasitas dalam sejarah. Sementara Gerantang, dengan segala keunggulannya, mewarisi dan memperkuat hegemoni elit.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.