Opini
Teori Melankolia Musik Sasak, Suara dari Lula Kutural
Hans Eysenck (1982), melalui teori dimensi kepribadiannya, memosisikan tipe melankolis dalam kuadran introver dan neurotik.
Oleh: Salman Faris
Di tengah masyarakat Sasak sendiri, telah lama bergulir pertanyaan yang tampak sederhana namun sarat makna. Mengapa musik Sasak cenderung mendayu-dayu, dengan lirik yang dipenuhi tema kesedihan, ratapan, dan luapan perasaan emosional yang dalam?
Pertanyaan ini kembali mengemuka ketika kawan Turmuzi Mamben, salah seorang komisioner KPU Jakarta yang berasal dari Lombok mengajukannya kepada saya baru-baru ini.
Sesungguhnya, pertanyaan tersebut telah lama bergaung dalam ruang batin kolektif masyarakat Sasak, namun hingga kini belum tersedia kerangka teori yang kokoh dan argumentatif untuk menjelaskannya secara tuntas.
Seharusnya, sudah saatnya sebuah kerangka teoritis disusun untuk menjawab kegelisahan intelektual ini. Walaupun saya bukan ahli dalam praktik musik, kegelisahan itulah yang mendorong saya untuk menyusun sebuah kerangka awal, dengan harapan para ahli teori dan praktisi musik di kalangan Sasak kelak dapat memperkuat, merevisi, atau bahkan merombaknya demi membangun fondasi yang lebih tepat dan ilmiah.
Sebagai kerangka awal, gagasan ini tentu terbuka untuk ditolak, diperdebatkan, atau dikembangkan lebih lanjut. Namun yang terpenting, tujuan utama tulisan ini ialah untuk memantik diskusi serius demi memperjelas penteorian musik Sasak secara lebih sistematis dan akademik.
Secara etimologis, pemilihan kata melankolia sebagai kerangka teori merujuk pada kepribadian melankolis, yaitu individu yang bersifat analitis, perfeksionis, dan sangat peka terhadap emosi serta kondisi lingkungan sekitar, dengan ciri utama berupa kemampuan berpikir mendalam, ketelitian, serta kecenderungan untuk hidup secara teratur dan terstruktur.
Florence Littauer (1992) menjelaskan bahwa individu melankolis cenderung menganalisis secara rinci, sangat bertanggung jawab, serta memiliki kepekaan yang tinggi terhadap seni dan keindahan.
Tim LaHaye (1984) juga menyatakan bahwa kepribadian ini ditandai oleh kemampuan merancang dengan cermat, kesetiaan terhadap nilai-nilai, dan kecintaan terhadap kesempurnaan.
Sementara itu, Hans Eysenck (1982), melalui teori dimensi kepribadiannya, memosisikan tipe melankolis dalam kuadran introver dan neurotik, yang meskipun cenderung emosional, tetap memiliki kelebihan berupa ketekunan, daya analisis yang tajam, serta kecenderungan untuk bekerja secara sistematis.
Dengan demikian, kepribadian melankolis memiliki potensi besar dalam bidang-bidang yang menuntut ketelitian, kreativitas, dan perencanaan yang matang.
Musik tradisional adalah bentuk ekspresi kultural yang paling dalam dari sebuah masyarakat. Ia tidak hanya mencerminkan selera estetik tetapi juga memuat struktur emosional, spiritual, dan historis yang telah terbentuk dalam waktu panjang.
Dalam konteks masyarakat Sasak, musik tradisionalnya membawa satu karakteristik yang paling mencolok yaitu suasana melankolik yang nyaris menjadi warna dominan dalam tema, melodi, dan gaya penyampaian.
Musik Sasak tidak bergemuruh atau membuncah dalam semangat kolektif sebagaimana yang ditemukan pada musik rakyat lainnya, melainkan hadir dengan nada rendah, pelan, merambat, dan penuh perenungan.
Suasana musikal yang demikian tidak dapat dibaca sebagai kebetulan artistik belaka, melainkan merupakan penanda dari struktur emosi kolektif yang telah terbentuk secara historis dan kultural.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.