Opini

Teori Melankolia Musik Sasak, Suara dari Lula Kutural

Hans Eysenck (1982), melalui teori dimensi kepribadiannya, memosisikan tipe melankolis dalam kuadran introver dan neurotik.

Editor: Sirtupillaili
Dok.Istimewa
Salman Faris merupakan pengarang novel "Tuan Guru" dan kini mengajar sebagai dosen di Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia. 

Dalam sejarah dan percaturan nasional, orang Sasak yang ditepikan dari ruang pusat Indonesia. Begitu juga dalam kemajuan pariwisata, misalnya, masyarakat Sasak bernasib sebagai pengumpul remah-remah sisa pesta pora mereka yang menang dan pemain besar dalam bisnis global. 

Dengan begitu, musik melankolis adalah cara masyarakat Sasak menjaga kesadaran mereka terhadap sejarah dan diri. Ia bukan nostalgia yang pasif tetapi ingatan yang aktif. 

Ia tidak menolak modernitas secara frontal tetapi mengingatkan bahwa ada hal-hal yang tidak boleh dilupakan dalam arus perubahan. 

Dengan demikian melankolia dalam musik tradisional Sasak harus dibaca sebagai bentuk keberanian untuk tidak ikut larut dalam kegembiraan palsu modernitas. 

Ia adalah bentuk etika budaya yang memilih untuk tidak menghibur secara dangkal tetapi menawarkan kedalaman batin yang langka.

Teori ini juga membuka ruang baru dalam studi musik tradisional Nusantara. Ia menunjukkan bahwa musik tidak hanya bisa dianalisis melalui struktur bunyi tetapi juga melalui struktur rasa dan sejarah. 

Musik bukan hanya soal harmoni atau ritme tetapi juga soal bagaimana masyarakat menyimpan dan menyampaikan pengalaman hidup mereka. Dalam konteks ini musik Sasak menawarkan pelajaran penting tentang bagaimana kesedihan bisa menjadi kekuatan kultural. 

Bagaimana kekalahan yang beruntun dapat menjadi penopang atau penyangga pembentukan katakter bangsa yang ulung. 

Dalam dunia yang menuntut kegembiraan terus-menerus, musik melankolis Sasak mengajarkan bahwa menangis bersama adalah bentuk solidaritas. 

Bernyanyai dalam melodi kesedihan secara kolektif adalah bentuk penjagaan terhadap komitmen kebangsaaan Sasak itu sendiri. Bahwa mendengar dengan diam adalah bentuk penghormatan. Bahwa menjaga duka adalah bentuk patriotisme kepada sejarah dan leluhur.

Hanya saja, penghormatan dan patriotisme itu tidak boleh dijadikan ladang tanpa tanaman, tidak boleh dijadikan kolam tanpa ikan. 

Pada titik inilah, sifat dasar melankolis yang analitis, perfeksionis, dan sangat peka terhadap emosi serta keadaan sekeliling, kemampuan berpikir mendalam, ketelitian, dan kecenderungan untuk teratur serta terstruktur harus dijadikan medan magnet merekonstruksi identitas dan visi kebangsaan Sasak yang lebih unggul. 

Dalam pendekatan posmodern, berdasarkan watak melankolis tersebut, seharusnya orang Sasak mempunyai kecanggihan tinggi untuk mengkapitalisasi kesedihan. 

Mendeviasi kekalahan menjadi arus kemenangan masa depan orang Sasak. Dengan luka kultural tersebut sewajibnya orang Sasak memiliki kemampuan tak tertandingi dalam menegosiasikan posisi kehormatan mereka di pusat kuasa Indonesia.

Dengan demikian teori melankolia musik Sasak tidak hanya penting untuk memahami satu bentuk musik lokal tetapi juga penting untuk memahami bagaimana masyarakat menghadapi luka sejarah mereka. 

Musik bukan hanya ekspresi estetis tetapi juga medan ingatan dan arena perlawanan simbolik. Melalui musik yang sedih dan lambat masyarakat Sasak sedang berkata bahwa mereka pernah ada pernah menderita dan terus bertahan. 

Dalam dunia yang semakin melupakan suara-suara kecil seperti ini teori melankolia musik Sasak adalah usaha untuk terus mendengarkan. Adalah upaya untuk tak berhenti menjadi (to be) dan mengada (being).

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved