Opini

Elitisasi Sejarah Sasak, Bercermin pada Teater Cupak Gerantang 

Michel Foucault menyatakan bahwa sejarah bukanlah rekaman masa lalu yang objektif, melainkan medan diskursif yang dipenuhi dengan relasi kuasa.

Editor: Sirtupillaili
Dok.Istimewa
Salman Faris. Penulis merupakan Dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan pengarang novel "Guru Dane". 

Lebih jauh, bila kita menarik konsep orientalisme yang diajukan Edward Said ke dalam konteks lokal, kita melihat bahwa Cupak Gerantang menyusun bentuk orientalisme internal, yakni penciptaan oposisi biner dalam masyarakat sendiri. Elit menjadi yang rasional, luhur, dan modern. Sedangkan rakyat menjadi yang emosional, biadab, dan tertinggal. 

Konsep ini bekerja dalam ranah kultural untuk menyingkirkan suara-suara alternatif yang mungkin muncul dari lapisan sosial bawah. 

Cupak tidak diberi kesempatan untuk memperlihatkan sisi manusiawinya, tidak diberi ruang untuk menjadi tokoh kompleks yang berkembang. Ia menjadi simbol kekalahan yang diperlukan demi memperkuat legitimasi kemenangan Gerantang.

Dalam konteks seperti ini, sejarah Sasak yang muncul di hadapan kita tidak lain adalah sejarah dari perspektif elit, sejarah yang dibungkus dalam kisah moral yang menghibur tetapi juga mengatur persepsi. 

Cupak Gerantang sebagai cerita rakyat telah berubah menjadi cerita tentang elit yang disusupi ke dalam bawah sadar masyarakat secara sistematis. 

Ia tidak lagi mencerminkan kompleksitas dinamika masyarakat, tetapi menyajikan tatanan yang sudah ditentukan sebelumnya. 

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, siapa yang punya hak untuk menceritakan sejarah? Siapa yang punya kuasa untuk menentukan tokoh mana yang layak diingat dan tokoh mana yang hanya layak untuk ditertawakan dan dilupakan?

Sebagai refleksi kritis, kita harus menyadari bahwa sejarah yang berpihak semacam ini bukan hanya tidak adil, tetapi juga tidak utuh.

Ketika kita menerima begitu saja narasi seperti dalam Cupak Gerantang, kita membiarkan diri kita dimanipulasi oleh masa lalu yang telah disusun untuk kepentingan tertentu. 

Dalam masyarakat yang sedang bergerak menuju keterbukaan, demokrasi budaya, dan kesetaraan sosial, cara kita memahami dan menarasikan sejarah juga harus mengalami perubahan. 

Sejarah tidak boleh lagi menjadi milik tunggal kaum elit atau disampaikan melalui satu suara hegemonik. Ia harus dibuka, dirundingkan, dan ditulis oleh sebanyak mungkin tangan dari sebanyak mungkin sudut pandang.

Melalui tulisan ini, saya tegaskan bahwa saya tidak berupaya untuk menolak Cupak Gerantang sebagai warisan budaya Sasak. Justru sebaliknya, tulisan ini merupakan ajakan untuk mencintai warisan itu dengan cara yang lebih kritis dan reflektif. 

Dengan memeriksa ulang posisi-posisi simbolik dalam teater tradisional ini, kita bisa mulai mengoreksi ketimpangan naratif yang selama ini terjadi. 

Kita bisa mulai membayangkan kemungkinan naratif alternatif, di mana Cupak bukan hanya tokoh culas dan jahat, tetapi juga bisa menjadi representasi rakyat yang punya potensi yang layak untuk didengarkan. Bahkan punya kapasitas untuk menjadi pahlawan dan pemimpin.

Dalam situasi sekarang dan masa depan, ketika dunia mencair dalam ideologi global dan masyarakat bergerak melampaui batas-batas kelas yang kaku, sejarah Sasak perlu dirumuskan semula. 

Halaman
1234
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved