Opini
Melawan Kutukan Sasak Lebung
Frantz Fanon (2016), pemikir gerakan antikolonial dan dekolonisasi bahwa kolonialisme telah menyebabkan proses dehumanisasi pada bangsa terjajah.
Oleh: Muh.Fahrudin Alawi
*Pengajar program Studi Antropologi, Universitas Malikussaleh-Aceh.
Tulisan berseri Salman Faris yang menggugat tafsir atas makna tunggal ke-Sasak-an selayaknya disambut dengan hangat. Setelah sekian lama definisi Sasak didominasi oleh narasi tunggal (sebagian elit) Sasak yang juga dianggap sebagai kebenaran kolektif menyejarah, akhirnya ada diskursus baru yang memberi pandangan alternatif.
Diskursus baru dalam memahami orang Sasak yang dilontarkan oleh Salman sudah selayaknya disambut oleh para intelektual, budayawan, tuan guru, mahasiswa, pegiat pariwisata, petani, buruh, sopir, tukang ojek, pedagang kaki lima, dan siapa saja yang masih peduli dengan wacana ke-Sasak-an.
Seperti diuraikan panjang lebar dan berapi-api (ciri khas gaya tulisan Salman), tafsir dan definisi tentang orang Sasak harus didekonstruksi ulang secara kritis.
Sebagai sebuah proyek diskursif, gagasan meninjau ulang dan menggugat makna ke-Sasak-an yang telah mapan tidak pernah dilakukan secara terbuka dalam ruang publik media massa.
Situasi ini tidak mengherankan karena tafsir tunggal atas apa dan siapa orang Sasak selama ini dimonopoli oleh lembaga-lembaga atau tokoh adat yang juga diamini oleh struktur kekuasaan formal.
Akibatnya, setiap ada narasi baru yang mencoba mendekonstruksi identitas Sasak akan dimaknai sebagai gerakan menodai nilai-nilai luhur peninggalan nenek moyang orang Sasak.
Pada titik ini, lontaran wacana yang dilakukan oleh Salman harus direspons dengan perbincangan narasi terbuka, kritis, dan berani.
Apa yang dinamakan kebudayaan Sasak selama ini direduksi pada benda-benda material yang bersifat simbolik dan ritus-ritus tradisi yang disakralkan.
Sasak direduksi pada bentuk pakaian adat, tata cara rangkaian ritus pernikahan, kesenian, bahasa (halus) yang dianggap sopan, penggunaan gelar kebangsawanan beserta privilese (hak istimewa) yang melekat, dan seperangkat simbol serta ritus lainnya yang sudah dibakukan.
Segala bentuk benda material, simbol, dan ritus tersebut sudah dipakemkan bentuk dan tata caranya tanpa bisa diinterupsi sejak kapan dibakukan dan dijadikan penanda identitas asli orang Sasak?
Pembakuan kebudayaan Sasak ini dianggap kebenaran tunggal yang tidak bisa diperdebatkan, diganggu gugat, ditafsirkan ulang, dikontekstualisasikan, atau bahkan dimunculkan tandingannya.
Monopoli tafsir makna tunggal ini terus direproduksi kebenarannya oleh mereka yang mengklaim diri tokoh adat, tokoh budaya, dan sebagian mereka yang menjadi pengurus lembaga-lembaga adat.
Pihak ini memosisikan dirinya seakan menjadi penjaga gawang kemurnian identitas dan nilai-nilai luhur budaya peninggalan nenek moyang orang Sasak.
Tanpa orang dan lembaga-lembaga semacam ini, orang sasak seakan-akan kehilangan identitas dan jati dirinya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.