Opini
Melawan Kutukan Sasak Lebung
Frantz Fanon (2016), pemikir gerakan antikolonial dan dekolonisasi bahwa kolonialisme telah menyebabkan proses dehumanisasi pada bangsa terjajah.
Proses itu juga terjadi pada bangsa Sasak. Kolonialisme tidak hanya mengeksploitasi kekayaan Gumi Sasak, tetapi juga telah mecabut orang Sasak secara paksa dari akar sejarahnya.
Kolonialisme telah membunuh kepercayaan diri Sasak sebagai bangsa merdeka sebelum diekspansi oleh kekuatan luar. Hidup dalam estafet kekuasaan kolonialisme berkepanjangan membuat Sasak mengidap penyakit inferiority complex syndrome, sebuah kondisi psikologis yang menyebabkan Sasak merasa rendah diri, tidak mampu, dan tidak memiliki nilai yang sebanding dengan orang lain.
Sasak tidak hanya gagal berdiri sejajar dengan kebudayaan bekas penjajahnya, tetapi juga tidak punya keberanian mendefinisikan dirinya sendiri.
Akibatnya, mendefinisikan Sasak harus diwakilkan oleh sekelompok kecil elit Sasak yang kemudian dianggap kebenaran tunggal dan hegemonik. Sialnya, rasa inferior itu terwariskan secara kolektif dari generasi ke generasi.
Jika seni dipahami sebagai cermin dari realitas sosial politik budaya masyarakat, maka rasa inferior sebagai bangsa inlander dengan mudah kita temukan pada lagu-lagu Sasak.
Lirik-lirik ratapan atas nasib sengsara jadi anak iwoq, kisah cinta yang berakhir tragis karena tebilin merariq atau jadi pengantin burung, kehidupan yang keras di rantau, dan sederet tema ratapan menjadi narasi dominan dalam lirik-lirik lagu Sasak.
Semua kesakitan itu didendangkan dengan nada lirih mendayu-dayu yang menyayat perasaan. Lagu-lagu bertema ratapan ini seakan menegaskan bagaimana orang Sasak hidup di atas puing-puing luka, kesakitan, dan keterasingan sejarah. Ohh..gamaq inaq.
Tantangan menjadi manusia Sasak saat ini tidak hanya bagaimana meruntuhkan ketidakadilan epistemik yang telah menjebak dirinya dalam kubangan rasa rendah diri dalam pusaran waktu yang sangat lama.
Tetapi proyeksi yang tidak kalah penting adalah bagaimana orang Sasak melihat masa depan tanpa dibelenggu oleh rasa inferior sebagai bangsa inlander.
Tanah-tanah tempat orang-orang tua Sasak zaman dulu menggembala kerbau telah beralih bentuk menjadi arena pacu kuda besi. Barisan pepohonan yang menghiasi bukit-bukit di Lombok telah ditebang berganti dengan villa yang harga sewa per malamnya bisa jadi setara dengan gaji buruh sawit sebulan di Malaysia.
Pantai-pantai indah nan cantik yang dulu menjadi jalur orang Sasak pergi ngerakat, sebagian ada yang telah dikapling akses masuknya.
Di saat bersamaan, orang Sasak masih sibuk berdebat mana kebudayaan asli Sasak dan mana yang bukan Sasak.
Orang Sasak masih sibuk menghujat kecimol dan ale-ale yang dianggap telah merusak budaya luhur peninggalan nenek moyang bangsa Sasak. Tolang papuq baloq!!!
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.