Opini
Di Mana Pariwisata NTB Mendunia Seharusnya Berpijak
Menghapus atau mengabaikan kearifan ini demi logika industri pariwisata yang seragam (global tourism) berarti memutus akar kemanusiaan itu sendiri.
Tentu saja bukan hanya dalam pengertian ekonomi, tetapi juga dalam pengertian sosial dan kultural.
Dalam keempat konsep tersebut, kearifan lokal, inovasi-invensi, dan adaptasi terkandung satu benang merah yakni pentingnya pariwisata NTB yang berpijak kuat pada realitas lokal namun berwawasan ke depan.
Pariwisata selalu melibatkan relasi kuasa antara yang melihat dan yang dilihat. Jika masyarakat lokal tidak mengontrol narasi dan bentuk pariwisata yang ditawarkan, maka mereka hanya akan menjadi objek dari tatapan global yang meminggirkan.
Oleh karena itu, penting untuk membangun pariwisata NTB dengan logika yang terbalik yaitu bukan hanya soal apa yang ingin dilihat, dirasakan dan dialami wisatawan, tetapi apa yang ingin ditunjukkan dan diwariskan masyarakat lokal.
Kritik terhadap praktik meniru model pariwisata luar tanpa pemahaman kritis menunjukkan adanya kegagalan dalam merumuskan identitas pariwisata NTB secara mandiri. Tidak semua yang berhasil di Bali atau di Thailand bisa diterapkan di NTB. Setiap wilayah memiliki sejarah, budaya, ekologi, dan struktur sosial yang berbeda.
Dengan demikian, membangun pariwisata NTB harus dimulai dari kesadaran epistemologis bahwa masyarakat lokal adalah sumber pengetahuan yang sahih, bukan sekadar pelaksana kebijakan dari luar.
Turis dan masyarakat lokal sekurang-kurangnya wajib diletakkan setara. Namun yang paling ideal adalah semaju-majunya pariwisata NTB, masyarakat lokal tetap menjadi raja. Itulah inti memijakkan pariwisata NTB pada kearifan lokal.
Kelemahan pijakan pembangunan pariwisata di NTB hari ini sebagian besar disebabkan oleh pendekatan top-down yang lebih mementingkan kepentingan jangka pendek dan logika investasi, ketimbang kepentingan jangka panjang dan keberlanjutan sosial-budaya.
Dalam konteks ini, masyarakat kerap tidak dilibatkan secara aktif dalam perumusan, pengelolaan, dan evaluasi kebijakan pariwisata. Padahal, keberlanjutan sejati hanya bisa dicapai jika masyarakat menjadi subjek, bukan objek.
Selain itu, kelemahan lain yang sangat mencolok adalah lemahnya kualitas sumber daya manusia yang mengelola pariwisata NTB. Mereka berpendidikan tinggi namun lemah dalam pengetahuan kelokalan dan sangat miskin ideologi serta komitmen kelokalan.
Oleh karena itu, solusi bukan hanya pada peningkatan infrastruktur fisik, tetapi juga infrastruktur sosial dan kultural. Pemerintah daerah harus membangun mekanisme partisipatif dalam merancang kebijakan pariwisata NTB.
Pendidikan pariwisata berbasis lokalitas harus diperkuat. Lembaga adat yang inklusif, komunitas kreatif, generasi muda lokak, dan pelaku usaha lokal perlu diberi ruang lebih besar untuk menjadi pengarah utama pembangunan pariwisata.
Praktik pariwisata yang beretika dan berbasis nilai lokal harus menjadi norma, harus menajdi blue print, mesti menjadi roadmap utama, bukan pengecualian.
Dengan menjadikan kearifan lokal sebagai dasar pijakan, namun membuka ruang luas bagi inovasi, invensi, dan adaptasi yang kontekstual, pariwisata NTB bisa tumbuh sebagai sistem yang berakar dan bertunas.
Ia tidak akan kehilangan identitas dalam arus globalisasi. Dan tidak pula tertinggal oleh perubahan zaman. Ia akan menjadi pariwisata yang inklusif, adil, dan berkelanjutan. Berpijak pada tanah sendiri, namun melangkah dengan pandangan ke masa depan.
Kaya, bahagia, sejahtera, makmur dan mendunia di rumah sendiri. Barulah pariwisata NTB itu menjadi lumbung sejati masyarakat lokal.
Seharusnya pariwisata NTB menjadi ketahanan pangan, sandang dan papan bagi masyarakat lokal. Jika tidak, maka kelak ia akan menjadi sumber bencana sosial-ekonomi yang sangat mengerikan.
Malaysia, 4 Mei 2025.
*Penulis adalah pengajar di Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan pengarang novel "Perempuan Rusuk Dua"
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.