Opini

Di Mana Pariwisata NTB Mendunia Seharusnya Berpijak

Menghapus atau mengabaikan kearifan ini demi logika industri pariwisata yang seragam (global tourism) berarti memutus akar kemanusiaan itu sendiri.

Editor: Sirtupillaili
TRIBUNLOMBOK.COM/DZUL FIKRI
Salam Faris. Ia merupakan dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan pengarang novel "Perempuan Rusuk Dua" 

Kebiasaan meniru bentuk-bentuk pariwisata dari luar, tanpa penyaringan kritis terhadap nilai, konteks, dan dampaknya, menyebabkan praktik pariwisata di NTB rentan menjadi imitasi kering yang menjauh dari realitas lokal. 

Maksudnya, sejauh ini, pariwisata NTB belum menemukan karakter khasnya, belum juga menunjukkan gap pembeda dengan daerah lain. 

Masalah mendasarnya terletak pada pola pembangunan pariwisata yang cenderung mengimpor model dan paket siap pakai dari luar. Seolah-olah pariwisata bisa di-copy-paste dari satu wilayah ke wilayah lain tanpa mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan ekologis yang khas. 

Dalam kerangka ini, kehadiran empat konsep utama yang saya tawarkan kearifan lokal, inovasi dan invensi, serta adaptasi waktu ke waktu, sangat penting untuk terus ditelaah agar semakin mengakar untuk menjadi pijakan teoritis dan praktis bagi pembangunan pariwisata yang lebih berdaulat secara kultural dan berkelanjutan secara sosial-ekonomi.

Kearifan lokal merupakan fondasi utama. Ia bukan sekadar hiasan eksotik atau atraksi yang dikomodifikasi dalam brosur wisata, tetapi seharusnya menjadi prinsip dasar dalam perumusan arah dan cara pembangunan pariwisata. 

Kearifan lokal adalah pengetahuan yang lahir dari pengalaman panjang masyarakat dalam berelasi dengan lingkungan mereka, dalam bentuk tradisi, ritus, arsitektur, pola kerja, dan nilai hidup sehari-hari. Kearifan ini menjadi penanda identitas dan modal sosial yang berharga. 

Kearifan lokal adalah cermin dari kemanusiaan yang tidak boleh dimusnahkan, sebab di dalamnya terkandung nilai, ingatan kolektif, dan etika hidup yang membentuk jati diri suatu masyarakat. 

Ia bukan sekadar warisan budaya, tetapi merupakan ekspresi dari cara manusia lokal memahami dan merawat hubungan dengan alam, sesama, dan yang transenden. Dalam konteks NTB, kearifan lokal terlihat dalam pelbagai bentuk. 

Misalnya tata ruang desa, hukum adat, relasi sosial yang egaliter, kesenian, serta pola pemanfaatan alam yang lestari. Semua ini lahir bukan dari teori, melainkan dari praktik hidup yang terus diasah oleh generasi demi generasi. 

Menghapus atau mengabaikan kearifan ini demi logika industri pariwisata yang seragam (global tourism) berarti memutus akar kemanusiaan itu sendiri.

Seperti diingatkan oleh Vandana Shiva (1997) dalam Biopiracy: The Plunder of Nature and Knowledge, penghancuran kearifan lokal adalah bentuk kekerasan epistemologis yang tak hanya merusak budaya, tetapi juga merampas hak hidup masyarakat lokal atas dunia mereka sendiri. 

Maka, mempertahankan kearifan lokal bukanlah romantisme masa lalu, melainkan tindakan etis dan politis untuk menjaga martabat manusia dan keberlangsungan masa depan. 

Dengan begitu, diharapkan pariwisata NTB dapat mendudukan masyarakat lokal dalam tujuan: kemajuan dan kemakmuran dunian di rumah sendiri. 

Namun demikian, menjadikan kearifan lokal sebagai pijakan tidak berarti menyanjungnya sebagai sesuatu yang sakral dan beku. Kearifan lokal harus dipandang sebagai sumber daya yang dinamis, yang dapat berkembang melalui proses inovasi dan invensi. 

Di sinilah pentingnya membangun pendekatan kritis terhadap tradisi: mempertahankan nilai dasarnya, namun tidak menutup kemungkinan untuk bertransformasi sesuai kebutuhan zaman. 

Halaman
1234
Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved